Kamis, 07 Maret 2013

Cerpen


KABUT RINDU KEJORA

          Kabut naik perlahan sore ini, sama seperti kondisi sepuluh tahun silam. Disini pula, kawasan wisata candi Gedongsongo. Setelah seperjalanan siang kabut menyelimuti pandang sembari temani rintik hujan menyapa bumi, ia pamit. Tak perlu menanti lama untuk kembali menikmati hamparan hijau bumi. Dan aku, selalu, suka sekali berlama-lama berdiri di dataran ini, menikmati suguhan panorama, berteman siluet senja.
          Sepuluh tahun. Terasa tua mengenang semuanya kembali. Tetapi kuas memori kadang memaksa mencelupkan diri dalam warna-warni cat air dan melukis memori pada kanvas ingatan, dengan begitu jelas. Cukup tersenyum saja.
*******
Kejora…
          Siang itu aku bergegas pulang ke rumah. Secepat kilat kumasukkan peralatan tari ke ransel yang kuambil paksa dari gantungan. Berlari keluar, langsung saja kutarik sepedaku di ruang samping. Sempat ku dengar teguran ibu.
          “Kejora, makan dulu nak.”
          “Sudah Bu. Kejora sudah makan di kampus tadi. Kejora berangkat sekarang Bu. Sudah terlambat nih.” Sahutku sembari menaiki sepeda dan mulai mengauhnya menuju jalan raya.
          “Hati-hati Kejora. Jangan pulang terlalu sore.”

          Masih dengan nafas tersengal, kuparkir sepedaku di depan sanggar. Ah, akhirnya sampai juga. Segera saja aku masuk ke sanggar, menuju ruang ganti kostum dan siap bergabung dengan teman-teman lainnya.
          Sudah tiga tahun aku bergabung di sanggar seni ‘Langen Ngudi Budoyo’ ini. Semua berasal dari kegemaranku menikmati aksi seni yang ditampilkan dalam setiap pagelaran. Hatiku mulai tergerak untuk menjadi bagian dari mereka. Melestarikan budaya daerah, terutama sukuku, suku Jawa. Berbagai tarian sukses kutaklukkan, mulai tari Merak, tari Jaipong, tari Gambyong dan lainnya. Tak hanya berbekal tarian, sanggar ini pun menuntut keahlian dalam budaya lokal Jawa dan seni lainnya. Sinden, gamelan, lukis dan seni suara jadi alas peramai suasana sanggar.
          “Saya kira latihan hari ini cukup. Sampai jumpa di gladi bersih besok, sebelum kita menjamu para pengunjung di candi Gedongsongo,” jelas mas Yudhistira, pelatihku di bidang seni suara sore itu.
          “Jaga kesehatan dan tetap semangat,” lanjutnya lagi.
          “Kejora dan Venus bisa tinggal sebentar?” ucap mas Yudhistira menahanku.
          “Iya, mas,” ucap kami serempak.
          Diam sejenak, menanti penghuni ruangan keluar.
          “Lusa nanti bisakah kalian menggantikan mbak Ratri dan mbak Galuh menampilkan tarian Gambyong?” Tanya mas Yudhistira.
          Kami berpandangan.
          “Mereka berdua berhalangan ikut dalam pagelaran nanti. Jadi kita harus mencari penggantinya,” sambung mas Yudhis lagi.
          “Baiklah, mas,” jawab kami mantap.

          Pagi sekali perlengkapan tari yang sudah tertata rapi di ransel kubongkar lagi. Rasanya selalu saja ada yang kurang. Padahal sudah sejak semalam kusiapkan segalanya. ‘Baiklah, ini yang terakhir’ gumamku meyakinkan.
          Semua siap. Kembali kukayuh sepedaku menyusuri jalan setapak, penuh bunga mawar di kanan kirinya. Kali ini, aku mengambil jalan memotong supaya lebih dekat. Tiba di sanggar, aku bersambut minibus yang akan mengantarkan kami ke kawasan candi. Hanya perlu setengah jam untuk sampai di kawasan candi.  Mas Yudhis sudah tiba terlebih dahulu dengan gamelan-gamelan yang tertata rapi di altar.
          Segera kami mengganti kostum dan menanti saatnya tampil. Tari Gambyong jadi tari kedua yang disuguhkan. Nada gamelan bertalu, berpadu dengan jemari lentik nan lincah, berbalut busana khas Jawa Tengah. Saat-saat ini yang aku suka, lakoni peran yang menggambarkan budaya.

Mualif…
          Bersiap ke Gedongsongo pagi ini. Selain penuhi ajakan teman-teman yang sudah sering kutolak, kudengar disana sedang ada pagelaran seni. Itulah tujuan utamaku. Sebagai koordinator tim kreasi seni, sudah selayaknya aku selalu mencari ide-ide segar untuk para anggotaku. Salah satunya lewat pagelaran seni. Coba saja tidak ada pagelaran seni pagi ini, pasti undangan mereka kutolak lagi.
          Tetabuh gamelan akrab menyapa ruang pendengaranku di gerbang masuk kawasan candi. Payah, aku sudah tertinggal berapa tampilan ini. Huft, hanya bisa mengomel dalam hati. Semua gara-gara menunggu mereka terlalu lama.
          Tari Gambyong di altar Pandawa menyambutku ramah. Satu hal yang langsung menyita perhatianku. Gadis berjilbab itu. Ia tampak luwes melakoni perannya sebagai penari. Tak tampak canggung dengan jilbab yang dikenakannya.
          Kuhampiri ia seusainya menari. Kuajak berkenalan. Dia menatapku dengan pandangan penuh selidik. Wajar. Siapa pula yang tak kaget dengan hal tiba-tiba begitu.
          “Maaf, siapa ya?” akhirnya kudengar suaranya setelah beberapa detik hening.
          “Perkenalkan, saya Mualif dari UNY. Saya kagum dengan penampilanmu tadi. Tarianmu bagus,” jawabku.
          “Terima kasih,” ujarnya pendek.
          “Kalau boleh tahu, namamu siapa?”
          “Kejora,”
          “Kuliah dimana?”
          “IAIN Semarang,” lagi-lagi jawaban pendek kudapat.
          “Bisa minta nomor ponselnya?”
          “Hmmm,……… 081xxxxxxxxx,” dia menyebutkan beberapa angka setelah berpikir lama, masih dengan pandangan menyelidiknya. Ah, dia kira aku teroris mungkin.
          “Terima kasih,”

Beberapa bulan kemudian…
          “Kejora, datang ya di pekan olahraga dan seni se-Jogja minggu depan,” ucap Mualif memulai perbincangan di seluler.
          “Insya Allah mas, saya nggak bisa janji,” jawab Kejora.
          Berulang kali permintaan Mualif ditolak oleh Kejora. Tak ada penjelasan, tak ada alasan. Kali ini, sudah satu jam lebih Kejora menanti Mualif di altar Pandawa, berselimut kabut. Jilbab biru serasi dengan gamis yang dikenakannya, melambai menurut hembusan bayu. Cukuplah bagi Kejora mengacuhkan Mualif selama ini. Ia ingin mengakhiri semuanya. Alasan bahwa dia sesungguhnya hanya menghindar untuk kontrol hati. Alasan bahwa Kejora hanya ingin bersama Mualif saat waktu yang tepat. Hanya itu, sungguh. Namun, dewi fortuna sepertinya tak sedang ingin berpihak pada Kejora. Mualif tak kunjung datang. Lagi-lagi janji hanya tinggal janji. Mungkin takkan ada kesempatan di lain hari, tak ada harapan lagi.
*******
          Puas menikmati panorama indah yang selalu dirindukannya, Kejora berjalan menuruni anak-anak tangga. Langkahnya seketika terhenti di depan altar Pandawa, tempat tarian Gambyong sedang dipentaskan oleh sekelompok anak kecil. Namun, bukan itu yang menghentikan langkahnya. Ia lebih tertarik melihat pasangan suami istri yang begitu bahagia menyaksikan penampilan puteri mereka. Si lelaki pernah begitu akrab dalam hidupnya, mas Mualif.
Cahaya Senja, November 2011

1 komentar:

  1. Casino Site Review – Casino Review - LuckyClub
    Casino Site Review 2021 · Bonuses, promotions and games · Loyalty program. · luckyclub Bonus codes and promotions. · Casino Site. · Website. Rating: 7.6/10 · ‎Review by LuckyClub

    BalasHapus