KABUT
RINDU KEJORA
Kabut naik perlahan sore ini, sama
seperti kondisi sepuluh tahun silam. Disini pula, kawasan wisata candi
Gedongsongo. Setelah seperjalanan siang kabut menyelimuti pandang sembari
temani rintik hujan menyapa bumi, ia pamit. Tak perlu menanti lama untuk
kembali menikmati hamparan hijau bumi. Dan aku, selalu, suka sekali
berlama-lama berdiri di dataran ini, menikmati suguhan panorama, berteman
siluet senja.
Sepuluh tahun. Terasa tua mengenang
semuanya kembali. Tetapi kuas memori kadang memaksa mencelupkan diri dalam
warna-warni cat air dan melukis memori pada kanvas ingatan, dengan begitu
jelas. Cukup tersenyum saja.
*******
Kejora…
Siang itu aku bergegas pulang ke
rumah. Secepat kilat kumasukkan peralatan tari ke ransel yang kuambil paksa
dari gantungan. Berlari keluar, langsung saja kutarik sepedaku di ruang
samping. Sempat ku dengar teguran ibu.
“Kejora, makan dulu nak.”
“Sudah Bu. Kejora sudah makan di
kampus tadi. Kejora berangkat sekarang Bu. Sudah terlambat nih.” Sahutku
sembari menaiki sepeda dan mulai mengauhnya menuju jalan raya.
“Hati-hati Kejora. Jangan pulang
terlalu sore.”
Masih dengan nafas tersengal, kuparkir
sepedaku di depan sanggar. Ah, akhirnya sampai juga. Segera saja aku masuk ke
sanggar, menuju ruang ganti kostum dan siap bergabung dengan teman-teman
lainnya.
Sudah tiga tahun aku bergabung di
sanggar seni ‘Langen Ngudi Budoyo’ ini. Semua berasal dari kegemaranku
menikmati aksi seni yang ditampilkan dalam setiap pagelaran. Hatiku mulai
tergerak untuk menjadi bagian dari mereka. Melestarikan budaya daerah, terutama
sukuku, suku Jawa. Berbagai tarian sukses kutaklukkan, mulai tari Merak, tari
Jaipong, tari Gambyong dan lainnya. Tak hanya berbekal tarian, sanggar ini pun
menuntut keahlian dalam budaya lokal Jawa dan seni lainnya. Sinden, gamelan,
lukis dan seni suara jadi alas peramai suasana sanggar.
“Saya kira latihan hari ini cukup.
Sampai jumpa di gladi bersih besok, sebelum kita menjamu para pengunjung di
candi Gedongsongo,” jelas mas Yudhistira, pelatihku di bidang seni suara sore
itu.
“Jaga kesehatan dan tetap semangat,”
lanjutnya lagi.
“Kejora dan Venus bisa tinggal
sebentar?” ucap mas Yudhistira menahanku.
“Iya, mas,” ucap kami serempak.
Diam sejenak, menanti penghuni ruangan
keluar.
“Lusa nanti bisakah kalian
menggantikan mbak Ratri dan mbak Galuh menampilkan tarian Gambyong?” Tanya mas
Yudhistira.
Kami berpandangan.
“Mereka berdua berhalangan ikut dalam
pagelaran nanti. Jadi kita harus mencari penggantinya,” sambung mas Yudhis
lagi.
“Baiklah, mas,” jawab kami mantap.
Pagi sekali perlengkapan tari yang
sudah tertata rapi di ransel kubongkar lagi. Rasanya selalu saja ada yang
kurang. Padahal sudah sejak semalam kusiapkan segalanya. ‘Baiklah, ini yang
terakhir’ gumamku meyakinkan.
Semua siap. Kembali kukayuh sepedaku
menyusuri jalan setapak, penuh bunga mawar di kanan kirinya. Kali ini, aku
mengambil jalan memotong supaya lebih dekat. Tiba di sanggar, aku bersambut
minibus yang akan mengantarkan kami ke kawasan candi. Hanya perlu setengah jam
untuk sampai di kawasan candi. Mas
Yudhis sudah tiba terlebih dahulu dengan gamelan-gamelan yang tertata rapi di
altar.
Segera kami mengganti kostum dan
menanti saatnya tampil. Tari Gambyong jadi tari kedua yang disuguhkan. Nada
gamelan bertalu, berpadu dengan jemari lentik nan lincah, berbalut busana khas
Jawa Tengah. Saat-saat ini yang aku suka, lakoni peran yang menggambarkan
budaya.
Mualif…
Bersiap ke Gedongsongo pagi ini.
Selain penuhi ajakan teman-teman yang sudah sering kutolak, kudengar disana
sedang ada pagelaran seni. Itulah tujuan utamaku. Sebagai koordinator tim
kreasi seni, sudah selayaknya aku selalu mencari ide-ide segar untuk para
anggotaku. Salah satunya lewat pagelaran seni. Coba saja tidak ada pagelaran
seni pagi ini, pasti undangan mereka kutolak lagi.
Tetabuh gamelan akrab menyapa ruang
pendengaranku di gerbang masuk kawasan candi. Payah, aku sudah tertinggal berapa
tampilan ini. Huft, hanya bisa mengomel dalam hati. Semua gara-gara menunggu
mereka terlalu lama.
Tari Gambyong di altar Pandawa
menyambutku ramah. Satu hal yang langsung menyita perhatianku. Gadis berjilbab
itu. Ia tampak luwes melakoni perannya sebagai penari. Tak tampak canggung
dengan jilbab yang dikenakannya.
Kuhampiri ia seusainya menari. Kuajak
berkenalan. Dia menatapku dengan pandangan penuh selidik. Wajar. Siapa pula
yang tak kaget dengan hal tiba-tiba begitu.
“Maaf, siapa ya?” akhirnya kudengar
suaranya setelah beberapa detik hening.
“Perkenalkan, saya Mualif dari UNY.
Saya kagum dengan penampilanmu tadi. Tarianmu bagus,” jawabku.
“Terima kasih,” ujarnya pendek.
“Kalau boleh tahu, namamu siapa?”
“Kejora,”
“Kuliah dimana?”
“IAIN Semarang,” lagi-lagi jawaban
pendek kudapat.
“Bisa minta nomor ponselnya?”
“Hmmm,……… 081xxxxxxxxx,” dia
menyebutkan beberapa angka setelah berpikir lama, masih dengan pandangan
menyelidiknya. Ah, dia kira aku teroris mungkin.
“Terima kasih,”
Beberapa
bulan kemudian…
“Kejora, datang ya di pekan olahraga
dan seni se-Jogja minggu depan,” ucap Mualif memulai perbincangan di seluler.
“Insya Allah mas, saya nggak bisa
janji,” jawab Kejora.
Berulang kali permintaan Mualif
ditolak oleh Kejora. Tak ada penjelasan, tak ada alasan. Kali ini, sudah satu
jam lebih Kejora menanti Mualif di altar Pandawa, berselimut kabut. Jilbab biru
serasi dengan gamis yang dikenakannya, melambai menurut hembusan bayu. Cukuplah
bagi Kejora mengacuhkan Mualif selama ini. Ia ingin mengakhiri semuanya. Alasan
bahwa dia sesungguhnya hanya menghindar untuk kontrol hati. Alasan bahwa Kejora
hanya ingin bersama Mualif saat waktu yang tepat. Hanya itu, sungguh. Namun,
dewi fortuna sepertinya tak sedang ingin berpihak pada Kejora. Mualif tak
kunjung datang. Lagi-lagi janji hanya tinggal janji. Mungkin takkan ada
kesempatan di lain hari, tak ada harapan lagi.
*******
Puas menikmati panorama indah yang
selalu dirindukannya, Kejora berjalan menuruni anak-anak tangga. Langkahnya
seketika terhenti di depan altar Pandawa, tempat tarian Gambyong sedang
dipentaskan oleh sekelompok anak kecil. Namun, bukan itu yang menghentikan langkahnya.
Ia lebih tertarik melihat pasangan suami istri yang begitu bahagia menyaksikan
penampilan puteri mereka. Si lelaki pernah begitu akrab dalam hidupnya, mas
Mualif.
Cahaya
Senja, November 2011
Casino Site Review – Casino Review - LuckyClub
BalasHapusCasino Site Review 2021 · Bonuses, promotions and games · Loyalty program. · luckyclub Bonus codes and promotions. · Casino Site. · Website. Rating: 7.6/10 · Review by LuckyClub