Kamis, 07 Maret 2013

Cerpen


Pelangi di Batas Senja
Rintik hujan kembali singgahi bumi sore ini, setelah sekian lama tiada sapanya. Seakan menjawab tanya para insan dunia akan sejuk yang hampir seperhitungan caturwulan tak kunjung terasa. Peredaran siang hanya dipenuhi oleh bising lalu lalang kendaraan yang sepertinya makin mendominasi padatnya jalan raya, juga asap pabrik yang kian hari kian ciptakan polusi, seiring mentari yang tampakkan cerianya hingga udara panas merajai. Bersyukur, keindahan panorama senja masih dapat kunikmati dari salah satu kawasan wisata terdekat. Hitung-hitung sebagai ganti garangnya terik mentari sepanjang kunjungan siang. Yah, setidaknya semua keluh terbayar saat ini, meski hanya gerimis yang diutus untuk bertamu di sebagian wilayah bumi. Dan beruntung, kota ini termasuk salah satu undian tempat singgah hujan kali ini.
Menunggu, mungkin dianggap sebagai hal yang paling membosankan. Tetapi tidak bagiku. Menunggu membuatku memperoleh pelangi terindah yang kuidamkan di batas senja berteman rinai hujan. Dan, satu-satunya alasan aku menunggu adalah Kejora.

Mualif...
Sore di Pandansimo, salah satu pantai di pesisir selatan kota Jogja. Masih seperti kemarin, kulalui hariku bersama anak-anak didikku. Kali ini dalam rangka refreshing selepas ujian akhir pesantren. Senang melihat keceriaan di wajah-wajah mereka. Seakan terbebas dari beban berat yang teremban pada pundak masing-masing, berkejaran, bekerjasama membangun benteng pasir, saling menciprat air. Ah, mungkin dulu seperti itu juga aku.
Menjauh dari mereka, kususuri sepanjang tepian pantai. Ombak bergulung-gulung mendekati tebing dan menyapa mereka dengan deburnya yang jadi rival riuh rendah suara anak-anak, sang bayu memulai canda dengan hembus lembut pada anak-anak rambut, mentari bersinar dengan cerianya hampiri senja yang lama menanti, dan gerimis perlahan terlihat seperti butir-butir salju dari angkasa. Suasana ini yang selalu kau suka. Bahkan kau pun berhasil ‘memaksaku’ untuk menyukainya pula. Gerimis begini, kau pasti mulai mengulurkan tanganmu keluar jendela atau berdiri di tepi teras dan menengadahkan tanganmu ke langit, membiarkan bulir-bulir air hujan membasahi seluruh permukaan tanganmu, berharap kekuatan mengalir lewat pori-porinya. Kau selalu berucap bahwa semangat baru selalu kau dapatkan bersamanya. Bahkan binar ceria matamu berhasil sampaikannya padaku sebelum kau selesai berucap. Entahlah, aku tak mengerti sebenarnya. Aku hanya tahu bahwa lambat laun aku suka menatap binar ceria matamu memandang rintik hujan yang kau tadahi, bahkan sebelum kita bertemu, melalui pesan-pesan singkat yang kau kirim, yang hingga detik ini masih menjadi penghuni tetap inbox ponselku.
Mengingatmu, satu pertanyaan terlontar seketika, sedang hujankah disana? Ah, aku mulai merindumu rupanya. Lama tiada kabar darimu. Lekas kuambil ponsel dari saku kemejaku. Kuketik pesan singkat beserta nomor tujuan yang sudah sangat melekat pada memori otakku.
‘Salam...
Gimana kabarnya, Neng? Sedang bersama gerimis senjakah?’
Pesan terkirim. Hm, bahkan aku pun tak punya nyali untuk sekedar menekan tombol hijau pada ponselku jika nomor tujuan satu ini yang tertera di layar. Kacau.
Semenit, lima menit, sepuluh menit. Masih kutunggu. Kembali kulayangkan pandang menyusuri seluruh penjuru kaki langit di sudut pantai, batas pandang manusia. Mentari masih disana, berteman senja. Ombak masih bermain dengan karang, gerimis usai. Dan anak-anakku, stagnan dengan kegiatan mereka di tepian pantai, bergerombol.
“Mas, jika ada pilihan antara hujan dan senja, apa yang akan mas pilih?” tanyamu dalam suatu obrolan saat itu.
“Aku tak memilih keduanya. Meski hujan adalah rahmat, tapi kadang karenanya aktivitas terbengkalai. Sering kau dengar bukan, orang-orang mengeluh karena hujan? Nah, aku termasuk di dalamnya. Sedangkan senja, menurutku ia lebih terlihat mewakili segala kerentaan, kusam. Jika kau suruh aku memilih, maka aku lebih suka memilih mentari kala fajar. Ia menggambarkan harapan dan semangat yang tak pernah mati. Menikmati panoramanya, serasa mendapat transfer energi dan motivasi baru setiap harinya.” Jawabku panjang lebar.
Tak melepas pandangmu dari panorama senja kala itu, kau hanya tersenyum, selalu.
“Bagaimana denganmu, Neng? Kenapa kau begitu menyukai hujan dan senja?” tanyaku saat tak ada ucap lagi darimu.
“Kehadiran mereka mewakili perasaanku, Mas. Pun dari mereka, aku belajar banyak tentang kehidupan. Dari hujan, aku dapat memaknai ketentraman sebenarnya. Dengan senja, aku belajar tentang komitmen pada keikhlasan dan kesetiaan. Meski terkesan kusam dan suram, namun sejatinya ia simpan banyak hal tentang harapan, cinta dan cita-cita. Keduanya tak habis tebar rahasia yang sarat akan mutiara. Dan aku, tak henti menyukainya.” Jawabmu sembari mengagumi siluet senja yang mulai tampak di hadapan.
Subhanallah, sepertinya aku mulai mengagumimu. Kaulah alasan utamaku selama ini tertarik pada hujan dan senja. Kini, aku pun dapat menikmati keduanya, bahkan menantinya seperti dirimu.
Ponselku bergetar. Satu pesan baru.
‘Sedang dimana, Lif? Segera ke tempat awal tadi ya. Persiapan pulang sebentar lagi.’
Mas Zaki. Kubalas segera.
‘Ok, Mas. Segera ke tempat.’
Terkirim. Kumasukkan ponsel ke saku lagi dan bergegas menuju tempat para pendamping berkumpul. Belum lama mengumpulkan anak-anakku, ponselku bergetar lagi. Kali ini darimu.
‘’Alaikumussalam...
Alhamdulillah sae. Mas gimana? Kebetulan hujan tak singgah disini mas. Jadi seperti biasa, menghindari polusi asap pabrik dan bising deru kendaraan, hanya menikmati senja bersama buku-buku kiriman mas.’
‘Alhamdulillah sama, Neng. Siluet senja disini begitu indah. Kau pasti takkan melewatkannya bila disini.’
‘Benarkah? Mas sedang dimana?’
‘Di Pandansimo dengan anak-anak. Kapan menikmati senja disini lagi?’
‘Do’akan saja dapat kesana lagi, Mas. Tugas kuliah begitu banyak saat ini. Tak terpikir akan kemana-mana.’
‘Do’a selalu sertaimu, Neng. Aku menantimu.’
Ah, sedikit menyesal pula setelah melihat tanda pesan terkirim pada pemberitahuan pesan. Menyesal telah menyisipkan kalimat terakhir. Meski kuakui, rasa sayang mulai ada untukmu. Ah, khawatir kau akan salah paham dan tak mau mengenalku lagi.
‘Njih, syukron Mas. J
Huft, lega juga pesanku berbalas. Setidaknya ada harapan untuk sua denganmu lagi. Tinggal tunggu waktunya.

Kejora...
Nada-nada surga dalam daftar playlist ponselku melantun, temani senjaku hari ini bersama buku-buku kirimanmu. Masih di dangau dekat salah satu stasiun di kota Semarang dengan hamparan sawah di kanan kirinya. Hampir satu semester waktu berlalu sejak sapa pertama darimu. Selama itu, selalu, kau kirimkan segala hal yang berkaitan dengan senja, termasuk buku-buku yang sedang kubaca kini. Ah, sebenarnya kau tak perlu begitu, sungguh tak perlu. Aku pun tahu bahwa kau sama sekali mencoba menyukai senja yang sejatinya tak kau suka. Terlalu berlebihan kurasa.
Asyik dengan buku-bukumu dan bentang panorama senja, tak kusadari pesan darimu. Telah lama pula tak ada kabar darimu. Aku, seperti biasa, masih mementingkan egoku yang setinggi langit itu ketimbang mendahuluimu mengirim pesan, meski aku sangat menginginkannya. Ah, bahkan kau pun tak pernah tahu itu. Biarlah. Aku lebih suka menyimpan rasaku padamu, seperti senja.
Rindu tiba-tiba muncul, rindu obrolan denganmu lagi beriring siluet senja itu.
“Tak mungkinkah kau biarkan hujan selalu temani senja, Neng? Bukankah mereka dapat saling melengkapi?’ tanyamu awali obrolan pada pertemuan terakhir sore itu.
Hm, kau benar-benar belajar dengan baik. Kau semakin memahami semuanya. Semua yang kusuka.
“Semua telah diatur sedemikian rupa, Mas. Tak mungkin hujan selalu temani senja. Telah ada porsi masing-masing. Meski mereka kan saling melengkapi, namun masing-masing masih perlu selesaikan kewajiban. Mengumpulkan berbagai cat warna yang akan digunakan mewarnai hari-hari mendatang, demi terciptanya lukis yang menawan. Hanya perlu menanti waktu.” Ujarku.
Lagi-lagi harus begini. Menekan rasa itu hingga ke dasar hati paling dalam. Belum sampai waktunya kini.
“Kalau begitu izinkan hujan menanti senja hingga masanya, Neng,” Ucapmu sembari menatapku.
Subhanallah, bahkan saat ini kalimat terakhir pada pesanmu pun tak berubah. Harapan selalu menghias disana. Ah, andai hujan selalu bersama senja setiap waktu, pasti jujur adalah pilihan tepat saat ini.
‘Lagi dimana, Sis? Hampir maghrib nih.’
Pesan masuk setelah berkirim beberapa pesan denganmu membuyarkan lamunan. Venus.
‘Iya, sebentar lagi sampai asrama, Ukhty’

Tiga purnama...
Menit-menit berlalu dalam hening, seakan mengerti suasana hati insan yang saling merindu. Dan benar-benar hanya rindu, tanpa kata-kata. Mualif kembali bersama Kejora kali ini, di tepian Indrayanti. Kejora tepati janjinya untuk bertemu dengan Mualif usai haul pimpinan pesantren almamater mereka di salah satu kabupaten di kota Gudeg. Duduk di hamparan pasir pantai, berteman hembus bayu membelai, memandang laut lepas. Gerimis turun.
“Masih tak mungkinkah hujan menemani senja kini, Neng? Belumkah sampai masanya?” tanya Mualif memecah kebisuan sedari tadi.
Kejora terperangah, terlihat gugup, tak menyangka Mualif akan kembali menanyakannya. Hanya sebentar, ia dapat menguasai diri. Tersenyum. Ah, bahkan dengan begitu pun mereka telah saling tahu sebenarnya. Tak perlu kata-kata yang terucap untuk dapat tahu perasaan mereka masing-masing. Hal itu nyata terlihat. Mereka bicara lewat hati, dengan senyuman. Mualif dan Kejora tahu itu. Semua bukan semata tentang panorama alam yang sama-sama mereka kagumi kini, tetapi lebih pada kelanjutan hubungan mereka yang selama ini lebih diwarnai dengan obrolan jarak jauh. Namun demikian, mereka saling memahami.
“Tahukah mas, apa yang kita nanti sebenarnya?” jawab Kejora dengan pertanyaan pula.
“Tentu saja, perpaduan hujan dan senja bukan,” sahut Mualif.
Kejora memandang Mualif, tersenyum. Lalu ia mengarahkan Mualif untuk melihat ke arah yang ditunjuknya. Senja mulai mengantar mentari kembali ke peraduan, gerimis hampir usai. Dan di ujung langit barat, di batas pandang pantai Indrayanti, rangkaian garis warna-warni mulai tersusun disana. Semakin lama semakin terlihat, hingga batas senja hari ini.
“Itulah yang kita nanti, Mas. Pelangi. Meski tiada ucap, biarkan masa yang menentukan, bilakah pelangi menyatukan hujan dan senja,” ucap Kejora.
Dan, Mualif pun mengerti. Ia tetap akan menanti masa itu. Dengan diam, dengan senyuman.
Cahaya Senja, Januari 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar