Kamis, 07 Maret 2013

Cerpen


Surat Cinta Kejora

“Neng, jendela ruang depan tadi sudah ditutup belum?” ucap mas Mualif disela kegiatan kami merapikan rumah sore itu.
“Sepertinya belum, Mas. Biar saya lihat dulu,” jawabku seraya beranjak menuju ruang depan.
Hujan makin deras rupanya. Tirai ruang depan melambai-lambai dipermainkan kencangnya hembus bayu. Segera kututup jendela ruang depan, lalu kutarik korden hingga menyelimutinya.
Saat ini adalah hari keduaku dan suamiku menempati kediaman pemberian Abah Anwar. Jeda sepekan sejak akad nikah terlantun oleh mas Mualif di masjid agung Yogyakarta, Abah Anwar mengundang kami berkunjung ke ndalem beliau dan menghibahkan tanah beserta kediaman dekat Alun-alun Kidul kepada kami. Sungguh hanya syukur yang dapat terhatur.
“Neng, barang-barang dalam kotak putih ini mau sekalian ditaruh di almari kah?” mas Mualif menghampiriku sambil membawa kotak putih dan menunjukkannya padaku.
“Apa isinya? Boleh mas tahu?” lanjutnya lagi.
Aku mendekat. Kuambil kotak putih itu dari tangan mas Mualif. Ah, bahkan aku telah lupa barang-barang apa yang kusimpan disana. Perlahan kubuka tutup kotak putih itu. Semua berwarna merah, benda-benda yang sengaja ingin kulupakan. Bahkan sejak impian dan harapan yang terbangun bersama tersimpannya benda-benda berwarna merah itu harus purna.
Mas Mualif mengambil salah satu isi kotak itu.
“Baju ini bagus, Neng. Cocok sekali jika engkau memakainya,” ucap mas Mualif seketika.
Aku diam. Lama. Hening.
“Neng..,”
Ah, berat sekali menjawab sapa mas Mualif. Bahkan kalimat untuk sekedar menyenangkan hatinya pun tak dapat terucap.
***
Kejora. . ,
“Kapan-kapan kalau kita ketemu lagi, jangan pakai busana warna merah ya, Dik. Mas kurang suka dengan warna itu,” pintanya kala itu, setelah berbincang beberapa hal via seluler.
Ya, aku dijodohkan dengan seorang putra kyai di salah satu wilayah Jawa Tengah. Tak ada keberatan sama sekali. Selain atas rekomendasi Abah Anwar, alasan terkuat aku menerima adalah karena aku yakin ia yang terbaik. Meski kuakui saat itu aku sedang dekat dengan salah satu santri abah, Mas Mualif, bahkan banyak keserasian dalam berbagai hal, namun aku tetap menerima perjodohan itu.
Pertemuan-pertemuan kami, ta’aruf itu, diatur oleh abah. Segala persiapan pernikahan kami pun diatur oleh beliau. Dan, setelah permintaannya itu, segala pernak-pernikku yang berwarna merah kusimpan rapi dalam kotak putih. Tak pernah kubuka setelahnya.
Mas Aulia. Sosok yang jadi pilihan abah itu adalah seorang yang begitu kuat baktinya pada orang tua, sabar, santun. Ah, semua sifat itu tak cukup rasanya sekedar untuk menggambarkan pribadinya. Mungkin itulah yang jadi alasan utama abah menjodohkanku dengannya, mengingat sifat-sifatku berbanding terbalik dengannya. Aku yang penari, aku yang cerpenis, aku yang organisatoris bahkan cenderung pemberontak, semua itu ingin diubah abah menjadi aku yang kalem, aku yang duduk manis dan aku yang penurut.
Sapaan jelang kuliah, lantun surat ar-Rahman selepas subuh dan nada-nada sholawat di tiap eksekusi tugas kuliahku jadi rutinitas wajib dari mas Aulia setiap hari. Tari, pentas, organisasi perlahan kutinggalkan. Ah, seperti bukan aku saja kalau begini.
Pagi itu, tiga hari sebelum janji suci terikat, tak ada sapa sama sekali, pun lantun surat ar-Rahman yang biasa dilantunkan mas Aulia untuk temani subuhku pun tiada. Cemas. Tak biasa.
Nduk, bisa ke rumah sekarang? Penting sekali,” pesan dari abah Anwar masuk ke ponselku.
“’Afwan, ada apa njih, Bah?” tanyaku heran. Tak biasanya abah memintaku datang mendadak begini. Apalagi jarak ke ndalem abah hampir setengah hari perjalanan bis.
“Berangkat sekarang juga ya, Nduk,” pesan abah lagi tanpa membalas tanyaku.
Bergegas aku bersiap. Berangkat.
Jika ditanya, bagaimana keadaanku saat ini? aku bingung. Jika ditanya, apa harapanku setelah ini? aku bingung. Jika ditanya, akankah aku menikah? Aku bingung. Ya, dan akhirnya aku memang harus mengakui bahwa aku telah menaruh harapan pada mas Aulia. Dan saat ini, yang kutemui saat aku datang ke ndalem abah adalah jasad mas Aulia yang telah terbalut rapi dengan kain kafan di ruang tengah, tempat aku bertemu mas Aulia pertama kali. Air mata, sama sekali tak ada. Sedih, kurasa aku lebih ke linglung sekarang. Tak ada keinginan apapun lagi. Semua berubah gelap.
***
Mualif. . ,
“Salam...
Lif, Jadilah imam untuk Kejora. Lanjutkan pernikahan yang telah disiapkan oleh abah. Maaf sebelumnya, aku menyayanginya, tapi kurasa ia lebih baik jadi dirinya sendiri di sisimu daripada menjadi orang lain bersamaku. Aku yakin, kau yang terbaik untuk jadi imamnya.”
Aku melipat surat dari Aulia yang diberikan abah padaku, selang sebulan setelah kepergiannya.
“Bagaimana, Lif? bersediakah menunaikan amanat Aulia?” tanya abah seketika.
“Pekan depan di masjid agung, Kejora telah bersedia, persiapkan dirimu,”
Ah, bahkan abah Anwar telah mengerti jawaban yang begitu berat kuucapkan. Semua karena kondisi Kejora yang sangat berbeda setelah Aulia tiada. Ia jadi begitu pendiam, berbicara hanya seperlunya saja. Bahkan setelah wisudanya kemarin. Mata itu, tak ada lagi binar bahagia disana, ceria lenyap, yang tersisa hanya sendu. Dan aku, sungguh berharap ceria itu kembali padanya setelah kami menikah.
Harapanku, mungkin belum sepenuhnya terwujud. Tapi setidaknya, Kejora tak lagi diam. Ia benar-benar istri yang baik. Meski aku sangat mengerti, ia sama sekali masih menyimpan kenangan tentang Aulia dengan begitu rapi, tapi tak masalah bagiku. Melihat binar ceria yang sedikit demi sedikit terpancar kembali dari matanya itu, cukuplah bagiku.
***
“Maaf mas, waktu-waktu ini ternyata belum mampu menghapus semua kenang yang masih terasa nyata dalam benak. Sungguh maaf. Saya belum bisa menjadi istri yang baik untuk mas,” ucapku perlahan.
Mas Mualif tersenyum.
“Tak apa, Neng. Semua perlu proses. Kau bisa lihat pelangi itu,” ujarnya sambil mengarahkan telunjuknya pada bukit di balik jendela ruang depan yang tirainya kembali tersibak. Ia menuntunku menuju beranda. Senja temaram. Hujan hampir reda.
“Senja tak selalu dikunjungi oleh hujan. Hujan pun tak ingin sering bertandang menjumpai senja. Kadang hujan yang merasa sepi kala senja tak kunjung hadir tuk sekedar bersapa, padahal ia hampir purna. Kadang pula senja merasa demikian. Pelangi tak terwujud seketika. Ia terlukis dari hujan dan senja, kala semburat mentari masih punya jeda menuju peraduannya, kala rinai mendekati sirna. Begitupun engkau dan kenanganmu. Saat kenangan usang ikhlas beranjak dari hatimu untuk sekedar membiarkan kenangan baru menggantikannya, mengisi ruang tempatnya bertahta selama ini, tentu kau akan menemukan lukis pelangi itu dalam hatimu. Lukis yang begitu indah, hingga nanti kau akan memberi izin baginya untuk menempati salah satu bilik hatimu,” jelas mas Mualif panjang lebar.
Lantun surat ar-Rahman sayup terdengar olehku.
...Fabiayyi aalaa’i Robbikumaa tukadzdzibaan?...”
Dan, senja kali ini terlihat begitu indah. Sama seperti pertama kali aku dibuat kagum olehnya.

Cahaya Senja, Oktober 2012

Cerpen


KABUT RINDU KEJORA

          Kabut naik perlahan sore ini, sama seperti kondisi sepuluh tahun silam. Disini pula, kawasan wisata candi Gedongsongo. Setelah seperjalanan siang kabut menyelimuti pandang sembari temani rintik hujan menyapa bumi, ia pamit. Tak perlu menanti lama untuk kembali menikmati hamparan hijau bumi. Dan aku, selalu, suka sekali berlama-lama berdiri di dataran ini, menikmati suguhan panorama, berteman siluet senja.
          Sepuluh tahun. Terasa tua mengenang semuanya kembali. Tetapi kuas memori kadang memaksa mencelupkan diri dalam warna-warni cat air dan melukis memori pada kanvas ingatan, dengan begitu jelas. Cukup tersenyum saja.
*******
Kejora…
          Siang itu aku bergegas pulang ke rumah. Secepat kilat kumasukkan peralatan tari ke ransel yang kuambil paksa dari gantungan. Berlari keluar, langsung saja kutarik sepedaku di ruang samping. Sempat ku dengar teguran ibu.
          “Kejora, makan dulu nak.”
          “Sudah Bu. Kejora sudah makan di kampus tadi. Kejora berangkat sekarang Bu. Sudah terlambat nih.” Sahutku sembari menaiki sepeda dan mulai mengauhnya menuju jalan raya.
          “Hati-hati Kejora. Jangan pulang terlalu sore.”

          Masih dengan nafas tersengal, kuparkir sepedaku di depan sanggar. Ah, akhirnya sampai juga. Segera saja aku masuk ke sanggar, menuju ruang ganti kostum dan siap bergabung dengan teman-teman lainnya.
          Sudah tiga tahun aku bergabung di sanggar seni ‘Langen Ngudi Budoyo’ ini. Semua berasal dari kegemaranku menikmati aksi seni yang ditampilkan dalam setiap pagelaran. Hatiku mulai tergerak untuk menjadi bagian dari mereka. Melestarikan budaya daerah, terutama sukuku, suku Jawa. Berbagai tarian sukses kutaklukkan, mulai tari Merak, tari Jaipong, tari Gambyong dan lainnya. Tak hanya berbekal tarian, sanggar ini pun menuntut keahlian dalam budaya lokal Jawa dan seni lainnya. Sinden, gamelan, lukis dan seni suara jadi alas peramai suasana sanggar.
          “Saya kira latihan hari ini cukup. Sampai jumpa di gladi bersih besok, sebelum kita menjamu para pengunjung di candi Gedongsongo,” jelas mas Yudhistira, pelatihku di bidang seni suara sore itu.
          “Jaga kesehatan dan tetap semangat,” lanjutnya lagi.
          “Kejora dan Venus bisa tinggal sebentar?” ucap mas Yudhistira menahanku.
          “Iya, mas,” ucap kami serempak.
          Diam sejenak, menanti penghuni ruangan keluar.
          “Lusa nanti bisakah kalian menggantikan mbak Ratri dan mbak Galuh menampilkan tarian Gambyong?” Tanya mas Yudhistira.
          Kami berpandangan.
          “Mereka berdua berhalangan ikut dalam pagelaran nanti. Jadi kita harus mencari penggantinya,” sambung mas Yudhis lagi.
          “Baiklah, mas,” jawab kami mantap.

          Pagi sekali perlengkapan tari yang sudah tertata rapi di ransel kubongkar lagi. Rasanya selalu saja ada yang kurang. Padahal sudah sejak semalam kusiapkan segalanya. ‘Baiklah, ini yang terakhir’ gumamku meyakinkan.
          Semua siap. Kembali kukayuh sepedaku menyusuri jalan setapak, penuh bunga mawar di kanan kirinya. Kali ini, aku mengambil jalan memotong supaya lebih dekat. Tiba di sanggar, aku bersambut minibus yang akan mengantarkan kami ke kawasan candi. Hanya perlu setengah jam untuk sampai di kawasan candi.  Mas Yudhis sudah tiba terlebih dahulu dengan gamelan-gamelan yang tertata rapi di altar.
          Segera kami mengganti kostum dan menanti saatnya tampil. Tari Gambyong jadi tari kedua yang disuguhkan. Nada gamelan bertalu, berpadu dengan jemari lentik nan lincah, berbalut busana khas Jawa Tengah. Saat-saat ini yang aku suka, lakoni peran yang menggambarkan budaya.

Mualif…
          Bersiap ke Gedongsongo pagi ini. Selain penuhi ajakan teman-teman yang sudah sering kutolak, kudengar disana sedang ada pagelaran seni. Itulah tujuan utamaku. Sebagai koordinator tim kreasi seni, sudah selayaknya aku selalu mencari ide-ide segar untuk para anggotaku. Salah satunya lewat pagelaran seni. Coba saja tidak ada pagelaran seni pagi ini, pasti undangan mereka kutolak lagi.
          Tetabuh gamelan akrab menyapa ruang pendengaranku di gerbang masuk kawasan candi. Payah, aku sudah tertinggal berapa tampilan ini. Huft, hanya bisa mengomel dalam hati. Semua gara-gara menunggu mereka terlalu lama.
          Tari Gambyong di altar Pandawa menyambutku ramah. Satu hal yang langsung menyita perhatianku. Gadis berjilbab itu. Ia tampak luwes melakoni perannya sebagai penari. Tak tampak canggung dengan jilbab yang dikenakannya.
          Kuhampiri ia seusainya menari. Kuajak berkenalan. Dia menatapku dengan pandangan penuh selidik. Wajar. Siapa pula yang tak kaget dengan hal tiba-tiba begitu.
          “Maaf, siapa ya?” akhirnya kudengar suaranya setelah beberapa detik hening.
          “Perkenalkan, saya Mualif dari UNY. Saya kagum dengan penampilanmu tadi. Tarianmu bagus,” jawabku.
          “Terima kasih,” ujarnya pendek.
          “Kalau boleh tahu, namamu siapa?”
          “Kejora,”
          “Kuliah dimana?”
          “IAIN Semarang,” lagi-lagi jawaban pendek kudapat.
          “Bisa minta nomor ponselnya?”
          “Hmmm,……… 081xxxxxxxxx,” dia menyebutkan beberapa angka setelah berpikir lama, masih dengan pandangan menyelidiknya. Ah, dia kira aku teroris mungkin.
          “Terima kasih,”

Beberapa bulan kemudian…
          “Kejora, datang ya di pekan olahraga dan seni se-Jogja minggu depan,” ucap Mualif memulai perbincangan di seluler.
          “Insya Allah mas, saya nggak bisa janji,” jawab Kejora.
          Berulang kali permintaan Mualif ditolak oleh Kejora. Tak ada penjelasan, tak ada alasan. Kali ini, sudah satu jam lebih Kejora menanti Mualif di altar Pandawa, berselimut kabut. Jilbab biru serasi dengan gamis yang dikenakannya, melambai menurut hembusan bayu. Cukuplah bagi Kejora mengacuhkan Mualif selama ini. Ia ingin mengakhiri semuanya. Alasan bahwa dia sesungguhnya hanya menghindar untuk kontrol hati. Alasan bahwa Kejora hanya ingin bersama Mualif saat waktu yang tepat. Hanya itu, sungguh. Namun, dewi fortuna sepertinya tak sedang ingin berpihak pada Kejora. Mualif tak kunjung datang. Lagi-lagi janji hanya tinggal janji. Mungkin takkan ada kesempatan di lain hari, tak ada harapan lagi.
*******
          Puas menikmati panorama indah yang selalu dirindukannya, Kejora berjalan menuruni anak-anak tangga. Langkahnya seketika terhenti di depan altar Pandawa, tempat tarian Gambyong sedang dipentaskan oleh sekelompok anak kecil. Namun, bukan itu yang menghentikan langkahnya. Ia lebih tertarik melihat pasangan suami istri yang begitu bahagia menyaksikan penampilan puteri mereka. Si lelaki pernah begitu akrab dalam hidupnya, mas Mualif.
Cahaya Senja, November 2011

Cerpen


Pelangi di Batas Senja
Rintik hujan kembali singgahi bumi sore ini, setelah sekian lama tiada sapanya. Seakan menjawab tanya para insan dunia akan sejuk yang hampir seperhitungan caturwulan tak kunjung terasa. Peredaran siang hanya dipenuhi oleh bising lalu lalang kendaraan yang sepertinya makin mendominasi padatnya jalan raya, juga asap pabrik yang kian hari kian ciptakan polusi, seiring mentari yang tampakkan cerianya hingga udara panas merajai. Bersyukur, keindahan panorama senja masih dapat kunikmati dari salah satu kawasan wisata terdekat. Hitung-hitung sebagai ganti garangnya terik mentari sepanjang kunjungan siang. Yah, setidaknya semua keluh terbayar saat ini, meski hanya gerimis yang diutus untuk bertamu di sebagian wilayah bumi. Dan beruntung, kota ini termasuk salah satu undian tempat singgah hujan kali ini.
Menunggu, mungkin dianggap sebagai hal yang paling membosankan. Tetapi tidak bagiku. Menunggu membuatku memperoleh pelangi terindah yang kuidamkan di batas senja berteman rinai hujan. Dan, satu-satunya alasan aku menunggu adalah Kejora.

Mualif...
Sore di Pandansimo, salah satu pantai di pesisir selatan kota Jogja. Masih seperti kemarin, kulalui hariku bersama anak-anak didikku. Kali ini dalam rangka refreshing selepas ujian akhir pesantren. Senang melihat keceriaan di wajah-wajah mereka. Seakan terbebas dari beban berat yang teremban pada pundak masing-masing, berkejaran, bekerjasama membangun benteng pasir, saling menciprat air. Ah, mungkin dulu seperti itu juga aku.
Menjauh dari mereka, kususuri sepanjang tepian pantai. Ombak bergulung-gulung mendekati tebing dan menyapa mereka dengan deburnya yang jadi rival riuh rendah suara anak-anak, sang bayu memulai canda dengan hembus lembut pada anak-anak rambut, mentari bersinar dengan cerianya hampiri senja yang lama menanti, dan gerimis perlahan terlihat seperti butir-butir salju dari angkasa. Suasana ini yang selalu kau suka. Bahkan kau pun berhasil ‘memaksaku’ untuk menyukainya pula. Gerimis begini, kau pasti mulai mengulurkan tanganmu keluar jendela atau berdiri di tepi teras dan menengadahkan tanganmu ke langit, membiarkan bulir-bulir air hujan membasahi seluruh permukaan tanganmu, berharap kekuatan mengalir lewat pori-porinya. Kau selalu berucap bahwa semangat baru selalu kau dapatkan bersamanya. Bahkan binar ceria matamu berhasil sampaikannya padaku sebelum kau selesai berucap. Entahlah, aku tak mengerti sebenarnya. Aku hanya tahu bahwa lambat laun aku suka menatap binar ceria matamu memandang rintik hujan yang kau tadahi, bahkan sebelum kita bertemu, melalui pesan-pesan singkat yang kau kirim, yang hingga detik ini masih menjadi penghuni tetap inbox ponselku.
Mengingatmu, satu pertanyaan terlontar seketika, sedang hujankah disana? Ah, aku mulai merindumu rupanya. Lama tiada kabar darimu. Lekas kuambil ponsel dari saku kemejaku. Kuketik pesan singkat beserta nomor tujuan yang sudah sangat melekat pada memori otakku.
‘Salam...
Gimana kabarnya, Neng? Sedang bersama gerimis senjakah?’
Pesan terkirim. Hm, bahkan aku pun tak punya nyali untuk sekedar menekan tombol hijau pada ponselku jika nomor tujuan satu ini yang tertera di layar. Kacau.
Semenit, lima menit, sepuluh menit. Masih kutunggu. Kembali kulayangkan pandang menyusuri seluruh penjuru kaki langit di sudut pantai, batas pandang manusia. Mentari masih disana, berteman senja. Ombak masih bermain dengan karang, gerimis usai. Dan anak-anakku, stagnan dengan kegiatan mereka di tepian pantai, bergerombol.
“Mas, jika ada pilihan antara hujan dan senja, apa yang akan mas pilih?” tanyamu dalam suatu obrolan saat itu.
“Aku tak memilih keduanya. Meski hujan adalah rahmat, tapi kadang karenanya aktivitas terbengkalai. Sering kau dengar bukan, orang-orang mengeluh karena hujan? Nah, aku termasuk di dalamnya. Sedangkan senja, menurutku ia lebih terlihat mewakili segala kerentaan, kusam. Jika kau suruh aku memilih, maka aku lebih suka memilih mentari kala fajar. Ia menggambarkan harapan dan semangat yang tak pernah mati. Menikmati panoramanya, serasa mendapat transfer energi dan motivasi baru setiap harinya.” Jawabku panjang lebar.
Tak melepas pandangmu dari panorama senja kala itu, kau hanya tersenyum, selalu.
“Bagaimana denganmu, Neng? Kenapa kau begitu menyukai hujan dan senja?” tanyaku saat tak ada ucap lagi darimu.
“Kehadiran mereka mewakili perasaanku, Mas. Pun dari mereka, aku belajar banyak tentang kehidupan. Dari hujan, aku dapat memaknai ketentraman sebenarnya. Dengan senja, aku belajar tentang komitmen pada keikhlasan dan kesetiaan. Meski terkesan kusam dan suram, namun sejatinya ia simpan banyak hal tentang harapan, cinta dan cita-cita. Keduanya tak habis tebar rahasia yang sarat akan mutiara. Dan aku, tak henti menyukainya.” Jawabmu sembari mengagumi siluet senja yang mulai tampak di hadapan.
Subhanallah, sepertinya aku mulai mengagumimu. Kaulah alasan utamaku selama ini tertarik pada hujan dan senja. Kini, aku pun dapat menikmati keduanya, bahkan menantinya seperti dirimu.
Ponselku bergetar. Satu pesan baru.
‘Sedang dimana, Lif? Segera ke tempat awal tadi ya. Persiapan pulang sebentar lagi.’
Mas Zaki. Kubalas segera.
‘Ok, Mas. Segera ke tempat.’
Terkirim. Kumasukkan ponsel ke saku lagi dan bergegas menuju tempat para pendamping berkumpul. Belum lama mengumpulkan anak-anakku, ponselku bergetar lagi. Kali ini darimu.
‘’Alaikumussalam...
Alhamdulillah sae. Mas gimana? Kebetulan hujan tak singgah disini mas. Jadi seperti biasa, menghindari polusi asap pabrik dan bising deru kendaraan, hanya menikmati senja bersama buku-buku kiriman mas.’
‘Alhamdulillah sama, Neng. Siluet senja disini begitu indah. Kau pasti takkan melewatkannya bila disini.’
‘Benarkah? Mas sedang dimana?’
‘Di Pandansimo dengan anak-anak. Kapan menikmati senja disini lagi?’
‘Do’akan saja dapat kesana lagi, Mas. Tugas kuliah begitu banyak saat ini. Tak terpikir akan kemana-mana.’
‘Do’a selalu sertaimu, Neng. Aku menantimu.’
Ah, sedikit menyesal pula setelah melihat tanda pesan terkirim pada pemberitahuan pesan. Menyesal telah menyisipkan kalimat terakhir. Meski kuakui, rasa sayang mulai ada untukmu. Ah, khawatir kau akan salah paham dan tak mau mengenalku lagi.
‘Njih, syukron Mas. J
Huft, lega juga pesanku berbalas. Setidaknya ada harapan untuk sua denganmu lagi. Tinggal tunggu waktunya.

Kejora...
Nada-nada surga dalam daftar playlist ponselku melantun, temani senjaku hari ini bersama buku-buku kirimanmu. Masih di dangau dekat salah satu stasiun di kota Semarang dengan hamparan sawah di kanan kirinya. Hampir satu semester waktu berlalu sejak sapa pertama darimu. Selama itu, selalu, kau kirimkan segala hal yang berkaitan dengan senja, termasuk buku-buku yang sedang kubaca kini. Ah, sebenarnya kau tak perlu begitu, sungguh tak perlu. Aku pun tahu bahwa kau sama sekali mencoba menyukai senja yang sejatinya tak kau suka. Terlalu berlebihan kurasa.
Asyik dengan buku-bukumu dan bentang panorama senja, tak kusadari pesan darimu. Telah lama pula tak ada kabar darimu. Aku, seperti biasa, masih mementingkan egoku yang setinggi langit itu ketimbang mendahuluimu mengirim pesan, meski aku sangat menginginkannya. Ah, bahkan kau pun tak pernah tahu itu. Biarlah. Aku lebih suka menyimpan rasaku padamu, seperti senja.
Rindu tiba-tiba muncul, rindu obrolan denganmu lagi beriring siluet senja itu.
“Tak mungkinkah kau biarkan hujan selalu temani senja, Neng? Bukankah mereka dapat saling melengkapi?’ tanyamu awali obrolan pada pertemuan terakhir sore itu.
Hm, kau benar-benar belajar dengan baik. Kau semakin memahami semuanya. Semua yang kusuka.
“Semua telah diatur sedemikian rupa, Mas. Tak mungkin hujan selalu temani senja. Telah ada porsi masing-masing. Meski mereka kan saling melengkapi, namun masing-masing masih perlu selesaikan kewajiban. Mengumpulkan berbagai cat warna yang akan digunakan mewarnai hari-hari mendatang, demi terciptanya lukis yang menawan. Hanya perlu menanti waktu.” Ujarku.
Lagi-lagi harus begini. Menekan rasa itu hingga ke dasar hati paling dalam. Belum sampai waktunya kini.
“Kalau begitu izinkan hujan menanti senja hingga masanya, Neng,” Ucapmu sembari menatapku.
Subhanallah, bahkan saat ini kalimat terakhir pada pesanmu pun tak berubah. Harapan selalu menghias disana. Ah, andai hujan selalu bersama senja setiap waktu, pasti jujur adalah pilihan tepat saat ini.
‘Lagi dimana, Sis? Hampir maghrib nih.’
Pesan masuk setelah berkirim beberapa pesan denganmu membuyarkan lamunan. Venus.
‘Iya, sebentar lagi sampai asrama, Ukhty’

Tiga purnama...
Menit-menit berlalu dalam hening, seakan mengerti suasana hati insan yang saling merindu. Dan benar-benar hanya rindu, tanpa kata-kata. Mualif kembali bersama Kejora kali ini, di tepian Indrayanti. Kejora tepati janjinya untuk bertemu dengan Mualif usai haul pimpinan pesantren almamater mereka di salah satu kabupaten di kota Gudeg. Duduk di hamparan pasir pantai, berteman hembus bayu membelai, memandang laut lepas. Gerimis turun.
“Masih tak mungkinkah hujan menemani senja kini, Neng? Belumkah sampai masanya?” tanya Mualif memecah kebisuan sedari tadi.
Kejora terperangah, terlihat gugup, tak menyangka Mualif akan kembali menanyakannya. Hanya sebentar, ia dapat menguasai diri. Tersenyum. Ah, bahkan dengan begitu pun mereka telah saling tahu sebenarnya. Tak perlu kata-kata yang terucap untuk dapat tahu perasaan mereka masing-masing. Hal itu nyata terlihat. Mereka bicara lewat hati, dengan senyuman. Mualif dan Kejora tahu itu. Semua bukan semata tentang panorama alam yang sama-sama mereka kagumi kini, tetapi lebih pada kelanjutan hubungan mereka yang selama ini lebih diwarnai dengan obrolan jarak jauh. Namun demikian, mereka saling memahami.
“Tahukah mas, apa yang kita nanti sebenarnya?” jawab Kejora dengan pertanyaan pula.
“Tentu saja, perpaduan hujan dan senja bukan,” sahut Mualif.
Kejora memandang Mualif, tersenyum. Lalu ia mengarahkan Mualif untuk melihat ke arah yang ditunjuknya. Senja mulai mengantar mentari kembali ke peraduan, gerimis hampir usai. Dan di ujung langit barat, di batas pandang pantai Indrayanti, rangkaian garis warna-warni mulai tersusun disana. Semakin lama semakin terlihat, hingga batas senja hari ini.
“Itulah yang kita nanti, Mas. Pelangi. Meski tiada ucap, biarkan masa yang menentukan, bilakah pelangi menyatukan hujan dan senja,” ucap Kejora.
Dan, Mualif pun mengerti. Ia tetap akan menanti masa itu. Dengan diam, dengan senyuman.
Cahaya Senja, Januari 2012