Selasa, 15 November 2011

Ihwal Hukum Perdata Islam di Indonesia

HUKUM KEWARISAN ISLAM PADA MASYARAKAT SISTEM MATRILINEAL

  1. BENTUK DAN SIFAT KEKERABATAN MATRILINEAL
Ciri-ciri masyarakat yang menganut sistem matrilineal yaitu keturunan dihitung dari garis ibu; anak dari dua orang perempuan yang bersaudara adalah sangat dekat sehingga tidak mungkin untuk mengadakan perkawinan; dalam penentuan keturunan pihak suami tidak masuk hitungan; dan anak-anak dibesarkan di rumah keluarga ibunya. [1]
Hubungan kekerabatan matrilineal bersifat alamiah dan lebih awal munculnya dalam peradaban manusia dibandingkan dengan bentuk kekerabatan lain. Hubungan kekerabatan ini mulai ada sejak manusia mulai mengadakan hubungan dengan lingkungannya. Pada waktu itu manusia mulai menyadari adanya hubungan ibu anak sebagai kelompok inti dalam masyarakat. Dalam kelompok inti itu anak hanya mengenal ibunya dan tidak mengenal ayahnya. Ayahnya hanya sebagai orang yang singgah dalam kehidupan ibunya dan menyebabkan ibunya melahirkannya. Ibunya yang mengasuh, mengurus dan membesarkannya; hingga ibunyalah yang menjadi kepala keluarga. Oleh karena dalam rumah tangga itu ibu yang berkuasa, maka perkembangan keturunan itu diketahui melalui garis ibu dan untuk selanjutnya garis keturunan diperhitungkan melalui ibu atau perempuan.

  1. ORGANISASI KEKERABATAN MATRILINEAL
Kesatuan atas dasar keturunan (unit genealogis) di Minangkabau disebut suku. Orang yang berada dalam satu kesatuan suku itu meyakini bahwa mereka berasal dari ibu yang sama yaitu ibu yang mula-mula datang ke tempat itu untuk membangun kehidupan. Kemudian ibu asal beranak dan bercucu. Rumah yang mula dibangun di tempat itu tidak dapat lagi menampung  seluruh keluarga. Kemudian si cucu yang tidak mempunyai tempat lagi di rumah asal, mendirikan rumah baru di sekitar rumah asal itu. Si cucu pun kemudian beranak pinak dan membutuhkan rumah tempat keluarga yang sudah berkembang itu. Dengan begitu terdapat sejumlah rumah di sekeliling rumah asal itu yang anggota-anggotanya bila ditelusuri ke atas secara garis keibuan ternyata mereka berasal dari ibu yang mula-mula mendiami rumah asal. Oleh karena itu semua keluarga yang tinggal di lingkungan itu merasa bersaudara dan terikat dalam satu kesatuan yang disebut suku. Dengan demikian kesatuan suku mengandung arti keturunan atau genealogis. Kesatuan yang terkecil dari kesatuan genealogis ialah kesatuan serumah yaitu satu kesatuan yang mendiami satu rumah yang biasanya terdiei dari tiga generasi dan makan dari satu periuk.[2]
Organisasi dalam kerabat matrilineal adalah sebagai berikut:
  1. Serumah sebagai kesatuan yang paling rendah.
  2. Jurai sebagai kesatuan di atas serumah dalam hal yang kesatuan itu sudah begitu berkembang.
  3. Paruik sebagai kesatuan yang mendiami rumah gadang asal dan masih jelas silsilahnya ke bawah.
  4. Suku sebagai kesatuan genealogis yang teratas yang antara sesama anggota sudah sulit untuk mengetahui hubungannya karena begitu meluasnya.
Organisasi kaum, eksistensi dan kelangsungannya ditentukan oleh unsur-unsur pokok yaitu pemerintahan, anggota dan harta pusaka. Anggota dari kaum terdiri dari laki-laki dan perempuan yang dalam adat ditentukan urutannya sebagai berikut:
  1. Kemenakan bertali darah, yaitu orang-orang yang secara nyata dapat ditarik hubungannya ke atas melalui garis ibu sampai bertemu dalam titik yang sama yaitu ibu asal di tempat itu.
  2. Kemenakan bertali adat, yaitu anggota yang datang dari luar lingkungan, menggabungkan diri dengan suku yang sudah ada yang hubungan antara yang asal dengan pendatang adalah satu suku.
  3. Kemenakan bertali budi, yaitu anggota yang diterima menggabungkan diri ke dalam s uku asal karena jasa dan budi yang diberikannya kepada suku asal.
  4. Kemenakan bertali emas, yaitu anggota yang menggabungkan diri kepada suku asal dan diterima bersama oleh suku asal menjadi anggota karena pembayaran yang dilakukan oleh anggota baru yang menggabung.
Dalam hak-hak keanggotaan adalah sama untuk setiap tingkat. Perbedaannya terletak pada hak mewarisi sako atau pusako yang hanya mungkin diwarisi oleh kemenakan bertali darah; kecuali dalam hal-hal tertentu kemenakan bertali darah sudah tidak ada.
Sebagai unsur ketiga ialah harta pusaka, yaitu harta yang didapat oleh ibu asal di tempat itu secara mencancang melateh dan diperuntukkan bagi seluruh generasi penerusnya secara kolektif yang penggunaannya diatur oleh kepala dari satu kesatuan kaum.

  1. PERANAN LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN DALAM KEKERABATAN MATRILINEAL
Sesuai dengan pengertian matrilineal yaitu penerusan keturunan melalui garis perempuan, maka peranan utama bagi seseorang perempuan adalah penyambung garis keturunan dalam kerabat. Dalam hubungan ini kelahiran anak perempuan sangat diharapkan oleh keluarga Minangkabau, karena dengan kelahiran itu berarti garis keturunan belum akan putus. Oleh karena peran yang penting itu, maka adat memberikan kepada perempuan hak istimewa sebagai pemegang harta pusaka yang pada waktu dulu merupakan sumber utama ekonomi. Pepatah adat menyebut perempuan dalam hal ini sebagai ‘umbun puro, pemegang kunci’. Dua ungkapan tersebut mengandung arti pemegang kekayaan di dalam keluarga. Puro berarti kas tempat penyimpanan uang sedangkan kunci yang dipegangnya berarti kunci kekayaan dari kerabat matrilineal.[3] Sistem kekerabatan matrilineal di Minangkabau memberikan kepada laki-laki dan perempuan kekuasaan dan peranan secara berimbang dalam kehidupan masyarakat. Laki-laki lebih berperan di bidang politik dan hubungan ke luar sedangkan perempuan berkuasa dalam kehidupan keluarga melangsungkan penerusan keturunan.

  1. PERKEMBANGAN SISTEM MATRILINEAL
Sistem kekerabatan matrilineal di Minangkabau telah mengalami banyak perubahan. Faktor yang lebih banyak memberikan pengaruhnya dalam perubahan itu ialah ajaran Islam dan kemudian disusul oleh kehidupan modern sebagai pengaruh dari kebudayaan barat. Tentang sejauh mana sistem matrilineal itu dapat bertahan, dapat dilihat dari segi sejauh mana perubahan berlaku terhadap unsur-unsur yang merupakan pendukung untuk tegaknya sistem tersebut.
Dalam penetapan hukum tidak bisa terlepas dari hukum adat istiadat, dan oleh karenanya dibagi dalam empat prinsip[4]:
a.       Hukum Islam melegalisir hukum adat untuk berlaku seterusnya. Hal ini jika adat tidak bertentangan dengan hukum Islam. Dalam hal ini berlaku teori bahwa hukum adat dapat berlaku jika telah diresepsi oleh hukum Islam, bukan sebaliknya. Misalnya dalam harta gono gini dalam masyarakat Jawa, dimana bila pernikahan terputus harta tersebut dibagi antara suami istri sesuai dengan hukum adat yang berlaku di setiap lokasi. Hal tersebut dibolehkan sepanjang di antara keduanya sudah saling merelakan.
b.      Hukum Islam menerima hukum adat pada hal dan prinsip, kendatipun dalam pelaksanaannya berbeda dan karenanya harus disesuaikan. Teknik ini berlaku jika hukum adat tidak bertentangan dari segi prinsipnya dengan hokum kewarisan Islam. Contohnya dalam asas kewarisan masyarakat jawa dengan yang terdapat dalam hukum Islam, dalam segi luasnya cakupan hukum adat Jawa lebih terbatas.
c.       Hukum Islam lebih diutamakan dibandingkan dengan hukum adat jika terdapat perbedaan prinsip antara hukum Islam dengan hukum adat itu. Misalnya asas kolektif pada masyarakat Minangkabau dan asas kolektif pewarisan semasa calon pewaris masih hidup di masyarakat jawa yang berbeda dengan pewarisan karena kematian.
d.      Islam menolak terhadap hukum adat lama karena adat itu tidak sesuai dengan hukum Islam, terutama jika memperhatikan terhadap kemaslahatan dan kemudlaratan yang ditimbulkan oleh hukum adat itu. Misalnya perombakan hukum Islam terhadap adat yang tidak memberikan kepada orang perempuan seperti ketika/di awal perkembangan Islam.
Unsur-unsur pendukung yang utama adalah organisasi kesatuan matrilineal yang meliputi pemerintahan, anggota dan harta pusaka serta beberapa unsur yang merupakan sub sistem dalam keseluruhan kerangka sistem matrilineal antara lain matrilokal, kawin eksogami dan kewarisan.
Kewarisan sebagai unsur pendukung dari sistem kekerabatan matrilineal di Minangkabau banyak mengalami perubahan. Kewarisan rapat sekali hubungannya dengan organisasi kekerabatan dan tanggung jawab utama dalam kehidupan ekonomi keluarga. Organisasi kekerabatan mengalami perubahan dengan melonggarnya ikatan kekerabatan dan terbatasnya lingkungan kekerabatan pada lingkungan keluarga inti di satu pihak, dan beralihnya tanggung jawab seseorang dari rumah ibunya ke rumah istrinya di pihak lain, membawa perubahan pada bentuk kewarisan. Kalau dahulu ahli waris terbatas pada kerabat matrilineal, yaitu saudara dan kemenakan, saat ini telah menjangkau keluar lingkungan kerabat matrilineal, yaitu anak dan istrinya. Prinsip kewarisan unilateral telah bergerak ke arah kewarisan matrilineal.[5]

  1. HARTA PUSAKA
  1. Pengertian Umum dan Macam-macamnya
Dalam pengertian umum, harta pusaka ialah sesuatu yang bersifat material yang ada pada seseorang yang mati yang dapat beralih kepada orang lain semata akibat kematiannya itu.[6]
Dalam pengertian itu dikemukakan kata “material” untuk memisahkan dengan “sako” yakni perpindahan yang berlaku dari orang yang mati kepada yang masih hidup dalam bentuk gelar kebesaran menurut adat. Pemakaian kalimat “semata akibat kematian” dimaksudkan untuk memisahkan dari pengertian hibah, yang peralihannya pada yang masih hidup bukan oleh sebab kematian yang mempunyai harta tetapi oleh tindakan hukum yang dilakukannya pada saat ia masih hidup.
Ø  Macam Harta Pusaka dari Segi Asalnya
a.       Secara dipusakai
Merupakan harta yang didapat seseorang dari angkatan sebelumnya sebagai akibat kematian angkatan tersebut. Harta ini terbagi menjadi dua macam yakni harta pusaka tinggi dan harta pusaka rendah. Perbedaan penamaan ini terletak pada waktu terjadinya harta itu.
Harta pusaka tinggi ialah harta yang sudah dimiliki keluarga hak penggunaannya secara turun temurun dari beberapa generasi sebelumnya hingga bagi penerima harta tersebut sudah kabur asal usulnya. Menurut adat yang diadatkan, harta yang diperoleh suatu kaum atau salah seorang dari anggota kaum dengan cara apapun, sesudah diturunkan satu kali bergabung dengan harta pusaka yang diterima dari generasi sebelumnya. Berdasarkan adat ini, maka di setiap angkatan generasi terjadilah percampuran harta yang diterimanya secara pusaka dengan hasil pencahariannya sendiri. Semakin jauh angkatan generasinya, senakin banyak pula percampuran harta itu. Di samping itu, pada setiap generasi terjadi “pecah perut” akibat terjadinya perkembangan anggota kaum. Harta yang ada pada generasi itu diadakan pemisahannya, sehingga setiap belahan dari perut itu mendapatkan bagiannya. Dengan adanya penggabungan harta pada setiap generasi dan pemisahan harta pada waktu terjadi pembelahan kesatuan paruik[7], maka pihak yang menerima kemudian hari tidak tahu lagi secara pasti harta milik siapa sebenarnya yang dipusakainya itu. Sehingga dapat dirinci ciri-ciri harta pusaka tinggi adalah:
-          Tidak dapat diketahui secara pasti asal-usulnya
-          Yang memiliki adalah kaum secara bersama untuk kepentingan bersama
-          Tidak dapat berpindah tangan ke luar kaum yang memilikinya kecuali bila dilakukan oleh kaum secara bersama-sama pula.
Harta pusaka rendah adalah harta yang dipusakai seseorang atau kelompok, yang dapat      diketahui secara pasti asal-usul harta itu. Ini dapat terjadi bila harta itu diterimanya dari satu angkatan di atasnya seperti ayah atau mamaknya, begitu pula dari dua tingkat di atasnya yang masih dapat dikenalnya. Harta pusaka rendah bila sekali diturunkan, dengan sendirinya menjadi harta pusaka tinggi.
b.      Harta pencaharian
Yaitu harta atau tanah yang didapat oleh seseorang sebagai hasil usahanya sendiri. Harta hasil usaha sendiri dapat dipisahkan menjadi dua bentuk:
-          Tembilang besi yaitu tanah yang didapatnya melalui hasil teruko dan hasil ulayat kaum. Hasil dari perbuatan menaruko itu adalah hak bagi yang menaruko dalam bentuk genggam beruntuk dan dapat dimanfaatkan bersama keluarganya. Pengertian tembilang besi dipergunakan sesuai dengan alat yang digunakan untuk mendapat tanah itu.
-          Tembilang emas yaitu harta atau tanah yang didapatnya dengan cara membeli atau magang dengan menggunakan uang hasil usahanya sendiri.
c.       Secara hibah
Yaitu harta yang dimiliki seseorang atau beberapa orang sebagai hasil pemberian dari orang lain bukan sebab kematian dari yang punya harta. Harta ini menjadi hak milik bagi penerima hibah.
Ø  Macam Harta dari segi Hak penggunaan
Dalam hal ini, tanah dibagi menjadi dua bentuk yakni hak bersama dan bukan hak bersama. Hak bersama adalah harta yang dimiliki haknya secara genggam beruntuk oleh kaum secara kolektif hingga tidak dapat ditentukan bagian masing-masing anggota kaum dan tidak dapat pula dibagi untuk pribadi anggota kaum tersebut. Sedangkan bukan hak bersama[8] yaitu harta yang dapat dimiliki oleh pihak tertentu dalam kaum tanpa ikut sertanya pihak yang lain.
Ø  Macam Harta yang menyangkut kehidupan suami istri dalam perkawinan
a.       Harta Tepatan, yaitu harta yang telah ada di rumah si istri sebelum berlangsung perkawinan. Harta itu disebut tepatan karena dalam adat perkawinan di Minangkabau, laki-laki yang pulang ke rumah istrinya. Harta tepatan atau  dapatan ada dua macam:
1.      Harta pusaka, yakni harta yang oleh istri dimilikinya bersama secara dipusakai, baik pusaka rendah maupun pusaka tinggi. Harta tersebut adalah hak istri bersama anggota keluarga lainnya.
2.      Harta pencaharian yang didapat oleh istri sebagai hasil usahanya sendiri atau dapat hibah secara perorangan. Harta dari kedua sumber ini adalah hak pribadi istri dan tidak ada hak kaum di dalamnya.
b.      Harta bawaan, yaitu harta yang telah dimiliki oleh suami sebelum perkawinan dan harta tersebut ditempatkan suami di tempat istrinya; atau harta yang diterima suami secara perorangan dalam perkawinan, yang keseluruhannya disediakan suami untuk menunjang kehidupan keluarga itu.
c.       Harta perkawinan, yaitu harta yang diperoleh selama berlangsung perkawinan, baik atas usaha suami, atau atas usaha istri atau atas usaha bersama.
  1. Fungsi Harta pusaka
a.       Memperbaiki rumah gadang
b.      Gadis besar belum bersuami[9]
c.       Biaya pengurusan jenazah dan segala sesuatu yang menyangkut peristiwa kematian (biaya mayat terbujur di tengah rumah)
d.      Pengangkatan penghulu baru, sebab jabatan penghulu telah lama kosong (pembangkit batang terandam)

  1. HUKUM KEWARISAN MATRILINEAL
  1. Asas-asas hukum kewarisan
Asas-asas hukum adat Minangkabau banyak bersandar pada sistem kekerabatan dan kehartabendaan, karena hukum kewarisan suatu masyarakat ditentukan oleh struktur kemasyarakatan[10]. Adat Minangkabau mempunyai ciri khas sendiri tentang keluarga dan tentang cara-cara perkawinan, yang kemudian menimbulkan bentuk atau asas tersendiri dalam hukum kewarisan. Asas-asas tersebut adalah:
a.       Asas Unilateral
Yakni hak kewarisan hanya berlaku dalam satu garis kekerabatan; dan satu garis kekerabatan disini adalah garis kekerabatan melalui ibu. Harta pusaka dari atas diterima dari nenek moyang hanya melalui garis ibu dan ke bawah diteruskan kepada anak cucu melalui anak perempuan. Hal ini berkaitan dengan pernyataan bahwa sistem kekerabatan matrilineal memelihara kelangsungan hak dan kewajiban ke dalam batas-batas kelompok kekerabatan yang membatasi keanggotaannya berdasarkan garis keturunan perempuan. Berdasarkan sistem itu, maka yang dianggap keluarga dalam hubungannya dengan hak dan kewajiban ialah kelompok tertentu yang tersebab oleh kelahiran seseorang perempuan. Susunan keluarga menurut paham ini ialah: ibu, nenek, ibunya nenek dalam garis keturunan ke atas. Paman dan bibi yang dilahirkan oleh nenek dari ibu dalam garis keturunan ke samping. Serta anak baik laki-laki atau perempuan, cucu dari anak perempuannya baik laki-laki atau perempuan, keturunan dari cucu perempuan dan seterusnya dalam garis keturunan ke bawah.
Dalam kenyataan saat ini, asas ini telah mengalami perubahan disebabkan oleh terjadinya perubahan dalam unsur-unsur penunjangnya. Selain tentang perubahan system eksogami perkawinan adat Minangkabau, terjadi pula perubahan dalam segi kehartabendaan. Harta kaum di samping secara kuantitas sudah berkurang, dari segi fungsinya pun sudah mulai melemah. Sebagai imbangannya, harta pribadi dan harta bersama suami istri sudah semakin banyak dan kuat kedudukannya. Kedua unsur ini menyebabkan kewarisan sudah mulai menjangkau ke luar lingkungan kaum dengan arti melalui garis kerabat laki-laki dengan berlakunya hubungan kewarisan ayah-anak.
b.      Asas Kolektif
Bahwa yang berhak atas harta pusaka bukan orang perorang, tetapi suatu kelompok secara bersama-sama. Berdasarkan asas ini, maka harta tidak dibagi-bagi dan disampaikan kepada kelompok penerimanya dalam bentuk kesatuan yang tidak terbagi. Tujuan penerusan harta secara kolektif sebagai berikut:
-          Untuk menjaga kekompakan dalam keluarga. Pembagian harta tidak selamanya memuaskan pihak yang menerimanya. Hal ini mengarah pada timbulnya iri dan dengki. Hal ini akan memecah kekompakan keluarga.
-          Untuk menjaga keutuhan harta. Adanya sifat kolektif mempersulit pengalihan harta keluar dari kaum, karena selama masih menjadi milik bersama, semua pihak dapat mengontrol penggunaannya.
Pengertian dan lingkungan kolektif telah berkembang menurut perkembangan pengertian keluarga, yakni menjadi keluarga serumah, tidak lagi sesuku atau separuik. Asas kewarisan kolektif tidak mengenal pembagian harta. Bila terjadi pembagian harta, maka yang dimaksud adalah pembagian harta antara rumah dengan rumah waktu terjadi pemisahan kaum, bukan pembagian antara orang dengan orang dalam rumah. Dalam perkembangannya di masa kini, sifat kolektif masih berlaku walaupun lapangannya semakin sempit. Seorang ayah yang telah menduduki posisi kepala keluarga, memperlakukan anak-anaknya secara sama dan tidak terpisah-pisah.[11]
c.       Asas Keutamaan
Asas ini berarti bahwa dalam penerimaan harta pusaka atau penerimaan peranan untuk mengurus harta pusaka, terdapat tingkatan-tingkatan hak yang menyebabkan satu pihak lebih berhak dibandingkan dengan yang lain dan selama yang lebih berhak itu masih ada, maka yang lain belum akan menerima.
Bentuk asas keutamaan dalam adat Minangkabau mengikuti bentuk-bentuk lapisan kekerabatan yang ada dalam masyarakat tersebut. Lapisan kekerabatan yang terdekat ialah kerabat bertali darah. Hubungan antara pewaris dan ahli waris disebabkan oleh kesamaan keturunan yang ditelusuri ke atas melalui garis perempuan. Bila generasi pewaris disebut mamak dan generasi ahli waris disebut kemenakan sesuai dengan ketentuan harta pusaka turun dari mamak kepada kemenakan, maka hubungan dalam bentuk ini disebut kemenakan bertali darah. Sebab jarak hubungannya yang dekat kepada pewaris, maka kemenakan itu disebut kemenakan “di bawah dagu”.
Lapisan kedua adalah kerabat yang disebut bertali adat, yaitu antara satu dengan yang lainnya tidak diketahui bertali darah; tetapi secara adat keduanya dinyatakan mempunyai hubungan kerabat karena sukunya sama; hanya berbeda negeri. Oleh karena keduanya ada ikatan adat, maka hubungan mamak kemenakan disebut kemenakan bertali adat. Dari segi jaraknya terutama menyangkut perhatian, disebut kemenakan di bawah dada.
Lapisan selanjutnya disebut kerabat bertali budi, yaitu hubungan antara kedua pihak tidak diikat oleh kesamaan darah dan tidak pula oleh kesamaan suku. Terjadinya hubungan ialah bahwa sekelompok orang dari luar suku menempatkan dirinya di satu suku dan bebuat jasa pada suku itu. Karena jaraknya terlalu jauh, maka ia disebut kemenakan di bawah perut.
Bentuk lapisan terakhir disebut kerabat bertali emas. Ini terjadi pada orang-orang yang tidak sedarah dan juga tidak sesuku tetapi datang menyandar kepada suatu kaum untuk ikut mengusahakan tanah ulayat suku itu. Untuk dapat diterima dalam suku itu, ia telah mengisi adat dalam bentuk penyerahan emas. Hubungan orang tersebut dengan kaum pada dasarnya terkait pada emas tersebut. Berdasar jaraknya, ia disebut kemenakan di bawah lutut.
  1. Ahli waris
Pengertian ahli waris disini adalah orang atau orang-orang yang berhak meneruskan peranan dalam pengurusan harta pusaka. Pengertian ini didasarkan pada asas kolektif dalam pemilikan dan pengolahan harta serta hubungan seseorang pribadi dengan harta yang diusahakannya itu sebagai hak pakai dalam genggam beruntuk. Kematian seseorang yang memakai harta menyebabkan kembalinya harta pada kaum; kemudian pengolahannya diteruskan oleh orang lain.
Menurut adat Minangkabau, pemegang harta secara praktis adalah perempuan karena di tangannya terpusat kerabat matrilineal. Mamak berperan mengawas dan mengatur penggunaan harta itu. Dengan berlalunya generasi ninik, maka peranan pengawasan diteruskan oleh mamak, sedangkan peranan pengolahan dan pengurusan dilanjutkan oleh ibu untuk membiayai kehidupan keluarga. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa harta ninik jatuh ke mamak atau dengan arti mamak adalah ahli waris trerhadap harta ninik. Begitupula dengan berlalunya generasi mamak, maka kemenakan laki-laki meneruskan peranan pengawasan dan kemenakan perempuan meneruskan peranan pengolahan, hingga dikatakan harta mamak turun ke kemenakan.[12] Hubungan kewarisan mamak kemenakan ini adalah menjadi ciri khas dari hukum kewarisan adat Minangkabau.
Putus tali waris dapat terjadi dalam sebuah rumah bila tidak ada lagi perempuan di rumah itu. Dengan demikian tidak akan ada lagi keturunan matrilineal yang akan menyambung tali keturunan. Walaupun ada laki-laki di rumah itu, tetapi ia tidak akan melanjutkan keturunan matrilineal. Dengan demikian, harta pusaka beralih kepada tingkatan yang lebih jauh. Demikian seterusnya sampai betul-betul punah kerabat tersebut dan harta itu disebut harta guntung. Dalam perkembangan selanjutnya, yaitu sesudah urang sumando menetap di rumah istrinya serta bertanggung jawab terhadap rumah tangga istrinya itu dan berkembang pengertian harta pencaharian, mulai ada kebebasan seseorang laki-laki untuk menggunakan harta pencahariannya itu untuk kepentingan anak istrinya. Tetapi hak itu belum berarti bahwa anak-anak adalah ahli waris bagi harta pencaharian ayahnya. Kewarisan anak atas harta pencaharian ayahnya berlaku baru sesudah perang dunia II. Ahli waris atas harta pencaharian seseorang yang tidak mempunyai anak dan istri ialah ibunya. Bila ibunya sudah tiada, maka hak itu turun pada saudaranya yang perempuan dan untuk selanjutnya kepada kemenakan yang semuanya berada di rumah ibunya. Ahli waris atas harta pencaharian seseorang perempuan adalah kaumnya yang dalam hal ini tidak tidak berbeda antara yang punya anak dengan yang tidak mempunyai anak. Perbedaan hanya antara yang dekat dan yang jauh. Kalau sudah mempunyai anak, maka anaknya yang paling dekat. Seandainya belum punya anak, maka yang paling dekat adalah ibunya; kemudian saudaranya serta anak-anak dari saudaranya itu. Adat Minangkabau tidak mengakui kewarisan istri terhadap harta peninggalan suaminya, begitupun sebaliknya. Namun, dalam perkembangan kemudian setelah Islam masuk ke Minangkabau, baru timbul hak kewarisan duda atau janda; itupun tertentu pada harta pencaharian.
  1. Cara-cara Pewarisan
Untuk pewarisan harta pusaka seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa peranan pengawasan harta pusaka turun dari ninik ke mamak, dari mamak ke kemenakan dan seterusnya. Serta pengolahannya dari ibu ke anak perempuan dan seterusnya. Sedangkan untuk harta bawaan, sesuai dengan ucapan adat “bawaan kembali, tepatan tinggal”, maka harta bawaan dikembalikan ke asalnya yaitu kaum dari suami. Untuk pewarisan harta tepatan diperuntukkan bagi anak-anaknya kalau ia telah meninggal dunia. Dalam hal ini ada perbedaan yakni harta yang berasal dari hasil usahanya sendiri diperuntukkan utuh untuk anak-anaknya, sedangkan harta pusaka di samping hak anak-anaknya, terdapat hak saudara-saudaranya karena harta itu diterimanya bersama saudara- saudaranya. Dalam hal pewarisan terhadap harta pencaharian, perubahan telah berlaku setelah kuatnya pengaruh hukum Islam yang menuntut tanggung jawab seorang ayah terhadap anaknya. Namun, meski begitu, harta pencaharian tembilang besi tidak serta merta turun pada anaknya, sebab di dalamnya terdapat pula hak dari kemenakan.
  1. Harta Pencaharian dan kewajiban hukum Islam
Harta pencaharian yang bebas sama sekali dari modal harta pusaka, sudah memenuhi syarat untuk dijadikan harta warisan. Begitupula harta pencaharian yang modalnya adalah harta pusaka memenuhi syarat untuk harta warisan menurut ketentuan syara’ setelah dikeluarkan hak kemenakan. Terhadap harta pencaharian yang terdapat di dalamnya unsur harta pusaka, juga harus diperlakukan hukum faraid dengan memberikan kelonggaran untuk memberikannya kepada ahli waris di luar faraid dalam batas yang diizinkan oleh hukum baik melalui wasiat mamak sebelum meninggal atau pemberian ahli waris yang berhak sebelum pembagian warisan. Demikian hukum yang berlaku di kalangan pemuka agama di Minangkabau. Hal ini antara lain didasarkan pada keputusan dalam seminar hukum adat Minangkabau yakni:
1.a. harta pusaka di Minangkabau merupakan harta badan hukum yang diurus dan diwakili oleh mamak kepala ahli waris di luar dan di dalam pengadilan.
   b. anak kemenakan dan mamak kepala waris yang termasuk dalam badan hukum itu, masing-masing bukanlah pemilik harta badan hukum tersebut.
2. a. harta pencaharian diwarisi oleh ahli waris menurut hukum faraid.
    b. yang dimaksud dengan harta pencaharian ialah seperdua dari harta yang didapat oleh seseorang selama dalam perkawinannya ditambah dengan harta bawaannya sendiri.
    c. seseorang dibenarkan berwasiat, baik kepada kemenakan maupun kepada yang lainnya, hanya sebanyak-banyaknya sampai sepertiga dari harta pencahariannya.
Sehingga pada intinya harta pencaharian yang pewarisannya berlaku secara praktis di lingkungan adat Minangkabau adalah harta pencaharian yang secara hukum memenuhi syarat untuk dijadikan harta warisan yang akan dibagikan secara hukum faraid.
  1. Perbandingan antara hukum kewarisan Islam dengan pewarisan harta pencaharian di Minangkabau.
a.      Kesamaan.
-          Asas bilateral.
Hukum kewarisan Islam menjalankan asas kewarisan bilateral yang berarti bahwa jalur pewarisan baik garis ke atas maupun garis ke bawah berlaku menurut garis keturunan laki-laki dan garis keturunan perempuan. Di lain pihak, anak laki-laki dan anak perempuan sama-sama berhak menjadi ahli waris bagi harta peninggalan orang tuanya. Pewarisan harta pencaharian pada saat ini di Minangkabau sudah berbeda dengan pewarisan harta pusaka menurut adat lama. Pada saat ini, sistem pewarisan demikian hanya berlaku terhadap harta pusaka. Adapun dalam harta pencaharian telah berlaku asas kewarisan bilateral.
-          Asas individual
Hukum kewarisan Islam menjalankan asas individual yang berarti bahwa harta warisan diwarisi secara terbagi-bagi dan dimiliki secara perorangan di kalangan ahli waris yang berhak. Setiap ahli waris berhak atas bagian tertentu dari kelompok harta warisan. Jika harta warisan dapat dibagi secara fisik, langsung diadakan pembagian dan seandainya barang tidak dapat dibagi, maka harganya diperhitungkan. Menurut kenyataan yang berlaku di adat Minangkabau, terdapat dua cara dalam penyelesaian harta warisan yakni:
Pertama, harta warisan dimiliki bersama oleh ahli waris yang berhak. Hal ini berarti tidak diadakan pembagian harta warisan secara nyata. Bentuk tidak dibaginya harta warisan tersebut ada tiga kemungkinan, harta tersebut tidak dibagi karena memang tidak ada yang pantas untuk dibagi, aatau ada harta yang mungkin dibagi di kalangan ahli waris tetapi harta tersebut tidak dapat dibagi secara terpisah seperti rumah dan tanah, atau harta warisan ada dan dapat dibagi tetapi tidak diadakan pembagian karena memang ahli waris tidak menginginkan membagi harta tersebut secara terpecah-pecah.
Kedua, harta warisan secara terbagi, dengan arti setiap ahli waris menerima haknya secara perorangan.
-          Asas Ijbari
Hukum kewarisan Islam menganut asas ijbari dengan arti bahwa segala sesuatu mengenai ahli waris dan kadar bagian masing-masing sudah ditentukan oleh  Allah. Dalam hal pembagian terhadap harta pencaharian, masyarakat adat minangkabau telah mengikuti ketetapan ini. Namun, penyimpangan terjadi dalam hal kerelaan mereka memasukkan orang luar ke dalam kelompok ahli waris. Sebenarnya pihak luar dapat menerima bagian dari harta peninggalan atas kerelaan bersama pihak ahli waris, akan tetapi bagian tersebut diberikan kepadanya sebelum pembagian di kalangan ahli waris. Begitu pula dalam hal penentuan bagian setiap ahli waris, terlihat ada pula keinginan ahli waris untuk mengubah sesuai dengan kesepakatan bersama, hingga secara lahir tidak menyalahi hukum faraid.
b.      Perbedaan.
Terdapat dua hal pokok perbedaan hukum kewarisan Islam dengan hukum kewarisan adat Minangkabau, yakni:
-                  Adanya kesepakatan di antara ahli waris yang berhak untuk memiliki bersama harta warisan dan tidak mengadakan pembagian secara nyata, yang menurut lahirnya dianggap tidak sejalan dengan asas individual yang dikehendaki oleh ajaran Islam.
-               Adanya keinginan bersama ahli waris untuk menggunakan haknya atas harta warisan menurut yang mereka sepakati, yang mungkin dalam beberapa hal tidak tidak persis seperti yang dikehendaki oleh hukum faraid.


KESIMPULAN DAN PENUTUP
Berdasar paparan yang telah dijelaskan, dapat disimpulkan bahwa hukum kewarisan dalam sistem Matrilineal saat ini tak lagi terpaku pada hubungan  kekerabatan dari pihak ibu saja, akan tetapi telah berkembang seperti halnya dalam sistem kewarisan hukum Islam. Hal ini tak lain sebab hukum adat dalam sistem masyarakat Minangkabau berprinsip berdasar pada kitabullah, sehingga perkembangan tersebut terlaksana, meski masih terdapat hal-hal tertentu yang masih berdasar pada adat, tidak dapat diganggu gugat.
Dalam pembuatan makalah ini tentunya terdapat banyak kekurangan, sehingga pemakalah berharap kritik dan saran yang mmbangun guna menyempurnakan makalah ini. Bertolak dari hal tersebut, harapan pemakalah bahwa makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

DAFTAR BACAAN
*      Anshori, Abdul Ghofur. Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, Eksistensi dan Adaptabilitas. 2002. Yogyakarta: penerbit Ekonisia.
*      Kamal, Iskandar. Beberapa Aspek dari Hukum Kewarisan Matrilineal ke Bilateral di Minangkabau. 1968. Padang: Center for Minangkabau Studies.
*      Siddik, Haji Abdullah. Hukum Waris Islam dan perkembangannya di Seluruh Dunia Islam. 1984. Jakarta: Penerbit Widjaya.
*      Syahbana, ST. Takdir Ali. Sistem matriarki minangkabau dan kedudukan perempuan. International seminar on minangkabau. 1980.
*      Syarifuddin, Amir. Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dalam Lingkungan Adat Minangkabau. 1984. Jakarta: PT Gunung Agung.


[1] Prof. ST. takdir Ali Syahbana. Sistem matriarki minangkabau dan kedudukan perempuan. International seminar on minangkabau. 1980. Hlm.8
[2] DR. Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dalam Lingkungan Adat Minangkabau, 1984, Jakarta: PT Gunung Agung, Hal. 186-189.
[3] Ibid. hlm. 189-192
[4]Abdul Ghofur Anshori, SH,MH. Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, Eksistensi dan Adaptabilitas. 2002. Yogyakarta: penerbit Ekonisia. Hlm. 64-65.
[5]   Ibid, hlm. 198
[6] Arti harta pusaka ini tidak berbeda dengan arti menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia oleh Poerwadarminta, yang mengartikannya dengan “harta benda peninggalan orang yang telah meninggal”, karena arti umum ini tidak mencakup sako dan hibah.
[7] Pengertian “pecah paruik” terjadi bila kesatuan paruik telah luas sekali sehingga diadakan penbagian menjadi sub paruik. Hasil dari pecah perut itu menghasilkan kesatuan yang disebut serumah.
[8] Kata “bukan milik bersama” tidak sama dengan “milik pribadi” karena pengertian milik pribadi berarti dimiliki oleh seorang tertentu dengan arti individual, sedangkan adat Minangkabau menganut filsafat bersama dalam kemasyarakatan, yaitu dasar bersama, tujuan bersama dan cara bersama.
[9] Menurut adat Minangkabau, gadis yang sudah beranjak dewasa sudah dinikahkan. Bila gadis sudah melewati usia dewasa namun belum menikah adalah suatu yang kurang dan memalukan keluarga. Untuk menutup malu dan kekurangan tersebut, segala daya dan dana disediakan dari harta pusaka.
[10] Dr. Iskandar Kamal, SH, Beberapa Aspek dari Hukum Kewarisan Matrilineal ke Bilateral di Minangkabau, 1968, Padang: Center for Minangkabau Studies, hlm. 153.
[11] Hal ini dapat terlihat dari banyaknya kamar yang ada dalam suatu rumah yang sekurang-kurangnya berjumlah sama dengan anak perempuan yang dimiliki. Meskipun anak perempuan  telah menikah, namun kecenderungan untuk berkumpul dengan anak dan cucunya tetap ada. Selengkapnya lihat DR. Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dalam Lingkungan Adat Minangkabau, 1984, Jakarta: PT Gunung Agung, hlm. 235.
[12] Seperti disebutkan dalam pepatah adat, birik-birik turun ke semak, tiba di semak berilah makan. Harta ninik turun ke mamak, dari mamak turun ke kemenakan. Selengkapnya lihat DR. Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dalam Lingkungan Adat Minangkabau, 1984, Jakarta: PT Gunung Agung, hlm. 238

Masa Kebangkitan Kembali Hukum Islam dan Fiqh Kaum Pembaharu

MASA KEBANGKITAN KEMBALI PEMIKIRAN HUKUM ISLAM DAN FIQH KAUM PEMBAHARU

A.    Pendahuluan
Setelah mengalami masa kebekuan dan kelesuan pemikiran selama beberapa abad, para pemikir Islam berusaha keras untuk membangkitkan Islam kembali, termasuk di dalamnya hal pemikiran hukumnya. Kebangkitan kembali ini timbul sebagai reaksi terhadap sikap taqlid yang membawa kemunduran dunia Islam secara keseluruhan. Maka kemudian muncullah gerakan-gerakan baru.
Fenomena-fenomena yang muncul pada akhir abad ke-13 H merupakan suatu wujud kesadaran dari kebangkitan hukum Islam. Bagi mayoritas pengamat, sejarah kebangkitan dunia Islam pada umumnya dan hukum Islam khususnya, terjadi karena dampak Barat. Mereka memandang Islam sebagai suatu massa yang semi mati yang menerima pukulan-pukulan yang destruktif atau pengaruh-pengaruh yang formatif dari barat. Fase kebangkitan kembali ini merupakan fase meluasnya pengaruh barat dalam dunia Islam akibat kekalahan-kekalahan dalam lapangan politik yang kemudian diikuti dengan bentuk-bentuk benturan keagamaan dan intelektual melalui berbagai saluran yang beraneka ragam tingkat kelangsungan dan intensitasnya. Periode kebangkitan ini berlangsung mulai sejak abad ke 19, yang merupakan kebangkitan kembali umat islam, terhadap periode sebelumnya, periode ini ditandai dengan gerakan pembaharuan pemikiran yng kembali kepada kemurnian ajaran islam.[1] Tanda-tanda kemajuan :
1.      Di bidang perundang-undangan
Periode ini dimulai dengan berlakunya Majalah al Ahkam al Adliyah yaitu Kitab Undang-undang Hukum perdata Islam pemerintahan Turki Usmani pada Tahun 1876 M.
2.      Di bidang pendidikan
Diperguruan-perguruan agama islam di Mesir, Pakistan, maupun di Indonesia dalam cara menpelajari fiqh tidak hanya dipelajari tertentu, tetapi juga dipelajari secara perbandingan, bahkan juga dipelajari hukum adat dan juga sistem hukum eropa.Dengan demikian diharapkan wawasan pemikiran dalam hukum dan mendekatkan pada hukum islam dan hukum yang selama ini berlaku.
B.     Fiqh Kaum Pembaharu
Ketika Islam memasuki periode perkembangan peradaban yang ditengarai makin meluasnya wilayah kekuasaan Islam, di sana-sini terjadi akulturasi budaya antar bangsa, dan adanya persentuhan agama Islam dengan pengetahuan agama lain, maka ajaran Islam mulai dipahami dan diamalkan dengan semangat rasionalisme seiring dengan tumbuh dan berkembangnya pemikiran Islam.
Muhammad al-Bahy menetapkan tiga pola upaya intelektualisasi ajaran Islam  yang melahirkan pemikiran Islam.  Pertama, usaha menggali dan memahami hukum-hukum agama dari sumbernya baik yang terkait dengan pengaturan  hubungan manusia dengan Tuhan, maupun pengaturan hubungan sesama manusia, termasuk dalam usaha ini adalah mencari solusi hukum Islam bagi permasalahan baru yang belum terjadi pada masa Nabi Muhammad.  Kedua, usaha menyelaraskan prinsip-prinsip ajaran Islam (aspek normativitas) agar tetap aktual dalam setiap zaman.  Ketiga, usaha menggali argumen (rasional religius) untuk mempertahankan  akidah Islam sekaligus menolak paham-paham lain yang bertentangan, menjelaskan posisi Islam secara umum, dan juga menggali faktor-faktor yang dapat menjadi motivasi dalam memberdayakan pemikiran untuk menjaga spirit Islam agar ajarannya tetap eksis dan utuh.
Atas dasar kenyataan di atas, Ahmad Amin mendiskripkan adanya tiga pola dan metode yang dilakukan umat Islam dalam memahami dan mengamalkan ajaran Islam.  Pertama, kaum tektualis-literalis yang berusaha memahami agama atas dasar teks al-Qur’an dan Hadis secara ketat.  Kedua,  kaum rasionalis yang berusaha memahami ajaran Islam dengan pendekatan dan kekuatan akal untuk menyingkap ajaran Islam secara kontekstual.  Ketiga, kaum intuitif yang berusaha memahami ajaran Islam lewat pendekatan  kashf dan ilham dalam rangka mengungkap rahasia agama secara batin.
Sejalan dengan pemikiran di atas, A. Mukti Ali (w. 2004) menyimpulkan bahwa dilihat dari segi pendekatan, terdapat tiga macam pola pendekatan yang dilakukan kaum muslimin dalam memehami ajaran agama Islam yaitu pendekatan  naqly (tradisional), pendekatan  aqly (rasional) dan pendekatan  kashf  (mistis).
Dalam perjalanan sejarah, ajaran Islam mengalami penyimpangan-penyimpangan yang disebabkan oleh kesalahan dalam memahami dan mengamalkannya ataupun adanya penolakan masyarakat untuk menyesuaikan dengan prinsip-prinsip al-Qur’an dan  Hadis yang benar, sehingga mendorong munculnya usaha-usaha pemurnian dan pembaharuan pemikiran Islam oleh pembaharu (mujaddid). Demikian itu karena sejak permulaan sejarahnya, Islam telah mempunyai  tradisi pembaharuan (tajdid), sehingga orang Islam segera memberi jawaban dan merespon terhadap apa saja yang dipandang menyimpang dari ajaran Islam.
Pembaharuan dalam Islam mengandung tiga prinsip yang bersifat sistemik, yaitu;  Pertama,  sesuatu yang diperbaharui telah ada eksistensinya secara faktual.  Kedua,  sesuatu yang diperbaharui telah lama berlangsung atau telah mensejarah. Ketiga, sesuatu yang diperbaharui dikembalikan pada keadaan semula dalam kemurniannya.[2] Dengan demikian, dalam konteks pembaharuan Islam yang di dalamnya antara lain tercakup konsep tentang purifikasi ajaran, karena misi pembaharuan (tajdid) yang esensial adalah untuk memurnikan ajaran Islam dan memformulasikan secara permanen validitas dan ketidakberubahan normativitas Islam kendati pada aspek historisitas bersifat dinamis dan responsif, tetapi prinsip di atas terkait pula dengan fungsi pembaharuan dalam Islam yang mengandung tiga fungsi pokok;  Pertama,  al-i’adah yaitu mengembalikn ajaran Islam kepada kondisi kemurnian dan keasliannya.  Kedua,  al-‘ibanah yaitu menyeleksi atau mensahkan ajaran Islam dari segala macam unsur-unsur lain yang telah mengotorinya.  Ketiga, al-ihya’ yaitu mendinamisasikan spiritual ajaran Islam sehingga mampu merespons dengan benar dan tepat, baik terhadap perubahan maupun dinamika kehidupan.[3]
Berdasarkan pengertian pembaharuan di atas, upaya-upaya pembaharuan dalam Islam cenderung didasarkan pada keyakinan bahwa telah terjadi berbagai macam anomaly atau penyimpangan-penyimpangan dalam pelaksanaan ajaran Islam yang disebabkan oleh kesalahan memahami dan mengamalkan doktrin Islam, karena ajaran untuk  kembali kepada al-Qur’an dan al-Sunnah serta praktik-praktik dan konvensi-konvensi keberagaman generasi salaf merupakan doktrin pokok kaum pembaharu. Mereka memandang, bahwa era kehidupan Islam dan metode keberagaman masa Nabi dan generasi salaf (minhaj tadayyun al-salaf) adalah cara Islam yang istimewa serta merupakan model keberagaman yang ideal, itulah sebabnya usaha-usaha yang dilakukan kaum pembaharu, meski dalam formulasi yang berbeda-beda sesuai dengan konteks yang dihadapi, namun memiliki benang merah kesatuan inspirasi dan arah dan keaslian dengan membersihkan hal-hal yang dipandang bid’ah.
Pembaharuan dan Pengaruhnya
Fungsi pembaharuan Islam adalah untuk menjaga kemurnian ajaran (al-muhafadhah ‘ala al-qadim al-shalih) dan memotivasi semangat kebebasan  individual untuk menempatkan akal pikiran dengan segala konsekuensinya menjadi semakin tinggi. Hal itu mutlak diperlakukan bagi usaha dinamisasi ajaran Islam agar menjadi fungsional (al-Abu Azam Al Hadi akhdhu bi al-jadid al-aslah), karena hakekat kebebasan untuk memahami ajaran Islam adalah inti dari ijtihad sebagai lawan taqlid yang menjadi agenda kedua para pembaharu.[4]
Muhammad ‘Abduh (1849-1905 M.) dan Muhammad Rashid Ridha (1865-1935 M.), melancarkan usaha pembaharuan dengan jalan memodernisasikan ajaran Islam di Mesir. Beberapa pengikutnya kelak dikenal dengan golongan Salafiyyah. Muhammad Abduh berupaya memodernisasikan ajaran Islam yang asli dengan penyesuaian perkembangan modern, usaha penyesuaian tersebut membutuhkan usaha baru untuk meniscayakan dibukanya pintu ijtihad.
1.      Madzhab Skriptualisme
Mazhab berpikir skriptualisme mempunyai landasan penilaian berdasarkan teks atau wahyu (kitab suci), bahwa hanya dengan wahyu-lah kita bisa memberikan penilaian terhadap sebuah realitas dan dengan wahyu pulalah kita bisa mengatakan bahwa sesuatu itu benar dan salah, tanpa wahyu maka mustahil kita bisa memberikan sebuah penilaian.
Ada beberapa problem dalam mazhab skriptualisme antara lain:
a. Sifat klaim akan selalu muncul terhadap pemahaman  ayat, padahal pemahaman kita terhadap ayat tidak terlepas dari subyektifitas penafsir, sehingga tidak perlu adanya sifat otoritas tafsir dan klaim kebenaran dari penafsiran terhadap kitab tertentu dan klaim kebenaran.
b. Agama yang memiliki kitab suci bukan cuma satu agama tapi banyak agama dan masing orang-orang yang memeluk agama yang berbeda sama-sama mengklaim bahwa merekalah pemilik kebenaran, pertanyaan kemudian, mungkinkah agama-agama itu bila sekiranya mengandung nilai kebenaran akan terjadi hal yang sifatnya kontradiksi, dan kalau memang mereka sama-sama meyakini kebenaran agama mereka dan kitab suci mereka, lalu kenapa mesti terjadi pengkafiran bahkan pembantaian, bahkan dalam sejarah keagamaan di dunia ini telah meninggalkan duka hitam yang sangat besar kepada ummat manusia, karena ratusan juta manusia telah menjadi korban pertikaian dan peperangan antar agama, yang sama-sama mengklaim pewaris kebenaran.
Dari dua problem diatas dan beberapa pertanyaan untuk mazhab skriptualisme, akan mengantarkan kita kepada suatu pemahaman bahwa ayat-ayat dan kitab suci bukanlah landasan penilaian dalam mengambil kesimpulan, akan tetapi Al-Qur’an ditempatkan sebagai data-data yang sifatnya metafisika dimana penelitian yang sifatnya emperikal tidak mampu menelitinya.
2.      Madzhab Liberalisme
Kata liberal berasal dari bahasa asing (Inggris) yang berarti bebas, tidak picik (pikiran).  Kemudian kata liberal[5] ini telah menjadi kata baku bahasa Indonesia yang mengandung arti “Pandangan bebas, luas dan terbuka”. Menurut Arkoun, secara terminology mazhab liberalisme adalah aliran hukum yang sangat menekankan penggunaan rasio (akal). Aliran ini tak terikat dengan bunyi teks, tapi berusaha menangkap makna hakikinya, makna ini dianggap sebagai ruh agama Islam, tema umum Islam (maqashid al-syari’ah). Dengan  arti kata bahwa mazhab ini berusaha mendobrak kebekuan pemikiran Islam, seklaigus merupakan fiqh baru yang dapat menjawab masalah-masalah baru akibat perubahan masyarakat. Mereka meninggalkan makna lahir dari teks untuk menemukan makna dari dalam konteks.
Sejarah munculnya mazhab liberal ini dapat dilacak pada mazhab ahl al-ra’y di kalangan sahabat nabi, dua cara yang dilakukan para sahabat yang melahirkan dua mazhab besar di kalangan sahabat-sahabat ‘Alawi dan mazhab ‘Umari yang akhirnya mewariskan kepada kita sebagai Syiah dan ahl Sunnah. Mazhab fiqh liberalisme sering diidentikkan dengan  rasionalisme yaitu aliran Mutazilah dan Syiah. Dimana mazhab ini lebih menekankan rasio (akal) dalam memahami ayat-ayat al-Quran.
Aliran ini  tidak terikat dengan bunyi teks, melainkan berusaha menangkap makna hakikinya, maka peranan akal dalam ijtihad sangat dominan. Perbedaannya bahwa rasional dalam fiqh adalah suatu pemikiran yang ada hubungannya dengan nash-nash, namun apabila tidak ada hubungannya maka tidak disebut rasional tetapi liberal.
Akar-Akar Liberalisme Islam
Akar-akar gerakan liberalisme Islam di Timur Tengah bisa ditelusuri hingga awal abad ke-19, ketika apa yang disebut “gerakan kebangkitan” (harakah al-nahdhah) di kawasan itu secara hampir serentak dimulai. Pada awalnya, kecenderungan liberalisme tokoh-tokoh pembaharu Muslim di kawasan Arab dipicu oleh semangat pemberontakan terhadap kolonialisme Eropa pada satu sisi, dan terhadap keterbelakangan kaum Muslim pada sisi lain. Karenanya, misi para pembaru Muslim pada –meminjam istilah Albert Hourani— masa-masa liberal (liberal age) itu adalah pembebasan dari cengkeraman penjajahan dan pembebasan dari kebodohan. Dua misi ini terus berjalan secara beriringan hingga masa pertengahan abad ke-20, ketika sebagian besar negara-negara Muslim mendapatkan kemerdekaannya. Sementara misi kedua, proyek pembebasan dari kebodohan, masih terus berlanjut sampai sekarang.[6]
Salah satu agenda penting dari misi kedua itu adalah memahami dan menafsirkan kembali ajaran-ajaran agama (Islam). Apa yang dilakukan tokoh-tokoh awal kebangkitan, seperti Muhammad Ibn Abd al-Wahab (1703-1791) di Jazirah Arab, Muhammad Ibn Ali al-Sanusi (1787-1860) di Aljazair dan Libia, Rifa’at Rafi’ al-Thahtawi (1801-1873) di Mesir, dan Khairuddin al-Tunisi (1822-1889) di Tunisia, tak lain dari upaya melakukan pembacaan ulang terhadap tradisi-tradisi Islam serta membangun kembali pemahaman keagamaan kaum Muslim secara benar dan bermakna. Sebagian gagasan rekonstruktif itu mendapatkan respons dari masyarakat Muslim, tapi sebagian lainnya, mengalami tantangan, khususnya dari ulama ortodoks yang dalam hal ini menjadi lawan serius dari gerakan pembaruan Islam.
Secara umum, para pembaharu Arab di masa-masa awal kebangkitan meyakini bahwa Islam adalah agama yang cocok bagi setiap masa dan tempat (shâlih li kulli zamân wa makân). Islam juga mampu beradaptasi dengan dunia modern, termasuk dengan pencapaian ilmu pengetahuan dan dalam beberapa hal nilai-nilai Barat. Jika terjadi konflik antara ajaran Islam dengan pencapaian modernitas, maka yang harus dilakukan, menurut mereka, bukanlah menolak modernitas, tetapi menafsirkan kembali ajaran tersebut. Di sinilah inti dari sikap dan doktrin Islam Liberal. [7]
Kiri Abduh
Tidaklah berlebihan kalau dikatakan bahwa gerakan awal-awal kebangkitan Islam mengalami signifikansinya pada figur Muhammad Abduh (1849-1905). Abduh adalah seorang modernis sejati. Kendati dididik secara tradisional dan berguru pada beberapa ulama al-Azhar yang sebagian besar bersikap konservatif, Abduh membuktikan dirinya sebagai seorang intelektual yang terbuka dan progresif. Agaknya, pengaruh Jamaluddin al-Afghani (1838-1897), teman dan gurunya, sangat besar dalam membentuk sisi modernitas Abduh. Lewat al-Afghani lah Abduh mengenal dunia Barat secara langsung (kedua tokoh ini tinggal di Eropa selama kurang-lebih lima tahun), perkenalan yang sangat mempengaruhi sikapnya sebagai intelektual dan tokoh agama.
Abduh sangat pandai bagaimana dia harus bersikap sebagai seorang ‘alim dan sekaligus sebagai seorang intelektual modernis. Selama menjadi Mufti, Abduh mengeluarkan banyak fatwa yang berkaitan dengan persoalan-persoalan modern. Pada satu sisi, Abduh selalu dilihat sebagai seorang tokoh ‘alim, mujtahid, dan penganjur doktrin orisinalitas Islam (al-ashâlah al-islâmiyyah). Pada sisi lain, Abduh juga dianggap sebagai seorang reformis yang toleran, liberal, dan kaya akan gagasan-gagasan modern. Tidak heran kalau murid-murid Abduh kemudian terpecah menjadi dua kelompok besar yang oleh Hassan Hanafi, pemikir Mesir kontemporer, dianalogikan seperti murid-muridnya Hegel dalam tradisi filsafat Barat. Sama seperti Hegel yang melahirkan dikotomi “kanan” dan “kiri,” menurut Hanafi, murid-murid Abduh juga dapat dikelompokkan berdasarkan katagori ini. Yakni, kelompok Kanan Abduh (Abduh al-Yamînî) yang cenderung mengembangkan pemikiran-pemikiran keagamaannya, dan kelompok Kiri Abduh (Abduh al-Yasârî) yang lebih cenderung mengembangkan gagasan-gagasan modernnya. [8]
Di antara murid-murid Abduh yang memiliki kecenderungan “kanan” adalah Muhammad Rashid Ridha (w. 1935) dan Shakib Arslan (w. 1946). Sementara Qasim Amin (w. 1908) dan Ali Abd al-Raziq dianggap sebagai murid-murid Abduh beraliran “kiri.” Kecenderungan “kanan” dan “kiri” dalam aliran (mazhab) Abduh ini dalam perkembangan selanjutnya mengalami radikalisasi yang cukup signifikan. Baik yang “kanan” maupun “kiri” sama-sama mengklaim sebagai penerus Abduh yang paling benar.
Dari ilustrasi di atas, kita bisa melihat bahwa murid-murid Abduh yang beraliran “kiri” semakin hari semakin ke “kiri” dan menjadi radikal, yang mencapai puncaknya pada diri Hassan Hanafi, penggagas “Kiri Islam.” Dalam hal ini, tokoh-tokoh sekuler (‘ilmani) radikal semacam Fuad Zakariya, Zaki Najib Mahmud, dan Adonis (Ahmad Said) juga merupakan perluasan dari aliran “kiri.” Kendati mereka tidak berguru langsung kepada Abduh, tapi penerus kelompok Kiri Abduh, seperti Thaha Hussein, Ahmad Luthfi Sayyid, dan Ismail Mazhar turut mempengaruhi pemikiran-pemikiran mereka. Begitu juga, kelompok kanan, semakin hari semakin ke “kanan” menjadi “Kanan Islam” atau “Fundamentalis.” Hal ini bisa dilihat dari murid-murid langsung Rashid Ridha, seperti Hassan al-Banna dan Sayyid Qutb. Gerakan Ikhwan al-Muslimun dan kelompok-kelompok Islam garis keras lainnya (seperti Hizb al-Tahrir) adalah evolusi panjang dari kelompok kanan Abduh yang secara kental dipengaruhi penafsiran-penafsiran Ridha terhadap Abduh, khususnya gagasan politiknya.
Kemunduran
Di satu sisi, Islam Liberal di kawasan Arab mengalami perkembangan cukup pesat. Murid-murid dan simpatisan Abduh yang berkecenderungan “kiri” semakin menyebar, tak hanya terbatas di kawasan timur (masyrîq) Arab saja, tapi juga meluas hingga ke kawasan barat (maghrib) seperti Maroko, Tunisia, dan Aljazair. Tokoh-tokoh intelektual semacam Mohammed Arkoun, Mohammed Abed Jabiri, Hisham Djait, Burhan Ghaliun, Salim Yafut, dan Abdullah al-‘Urwa (Laroui) adalah pemikir-pemikir terpandang di kawasan ini yang ide-idenya berada dalam track pemikiran Abduh. Begitu juga, isu-isu yang didiskusikan tidak hanya terbatas pada persoalan-persoalan keagamaan, seperti pada masa-masa awal kebangkitan. Tapi juga meluas hingga persoalan-persoalan demokrasi, HAM, gender, sastra, musik, dan iptek.[9] Namun di sisi lain, ruang gerak Islam Liberal di dunia Arab sebetulnya semakin mengalami kontraksi. Ia tidak bisa banyak berinteraksi dengan masyarakat secara luas. Bahkan cenderung mengalami konflik yang serius. Kasus-kasus yang menimpa para pemikir Arab ini adalah bukti betapa pemikiran liberal masih menemukan kendala klasik. Yakni, mudah berbenturan dengan otoritas agama dan masyarakat.
KESIMPULAN
1.      Hukum Islam mengalami priode perkembangan-perkembangan yang salah satunya adalah disebut dengan Priode Kebangkitan yang dimulai pada bagian kedua abad ke 19 sampai dengan saat ini, dengan tokoh sentralnya adalah Jalaluddin Al-Afghani (1839-1897) dan Muhammad Abduh (1849-1905). Pikiran-pikiran kedua tokoh ini sangat dipengaruhi oleh Pemikiran Ibnu Taimiyah (1263-1328).
2.      Ciri utama dari Perkembangan Hukum Islam pada priode ini adalah adanya ajakan untuk mendirikan Pan Islamisme dan melakukan perubahan menyeluruh terhadap dunia Islam khususnya di bidang pendayagunaan akal atas Al-Qurâan dan Sunnah dan sekaligus melepaskan ikatan dari belenggu mazhab. Bermazhab adalah sesuatu yang biasa, akan tetapi kefanatikan yang berlebihan terhadap mazhab adalah sesuatu yang binasa dan membinasakan.
3.      Ciri lain  dari periode kebangkitan ini adalah pendekatan hukum Islam melalui Perbandingan Mazhab baik mazhab Syafi’i, Maliki, Hanafi maupun Hambali ditambah lagi dengan Mazhab Syi’ah. Perbandingan bahkan dilakukan dengan sistem hukum Barat dan hukum-hukum lainnya.
4.      Ciri lainnya ditandai dengan perhatian yang cukup besar dari dunia Eropa dan Barat pada umumnya untuk mempelajari hukum Islam sehingga mereka menjadikan hukum Islam sebagai mata kulliah resmi di Fakultas-Fakultas Hukum.
5.      Ciri berikutnya dari perkembangan hukum Islam ini adalah adanya kecenderungan pada negeri-negeri berpenduduk muslim untuk kembali kepada Hukum Islam seperti yang terlihat di Timur Tengah dan di Asia Tenggara. Kalaupun negaranya tidak negara Islam, akan tetapi hukum yang diterapkan di dalamnya adalah hukum Islam.


[1] Prof. H. A. Djazuli, Ilmu Fiqh, Penggalian, perkembangan, penerapan hukum Islam, 2005, Jakarta : Prenada Media.
[2] Prof. H. Muhammad Daud Ali, SH., Hukum Islam, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2004, hlm. 42.
[3] Busthani Muhammad Said, Pembaharuan dan Pembaruan dalam Islam, Terj. Mahsun al-Munzir, Ponorogo Gontor: Pusat Studi Ilmu dan Amal, 1992, hlm. 1-3.
[4] Syafiq Mughni, Nilai-nilai Islam, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2001. Hlm. 10-11.
[5] Ensiklopedi Nasional Indonesia menyebut liberalisme sebagai aliran pikiran yang mengharapkan kemajuan dalam berbagai bidang atas dasar kebebasan individu yang dapat mengembangkan bakat dan kemampuannya sebebas mungkin.
[7] Sikap yang menjadi inti dari doktrin Islam Liberal ini juga yang kerap membuat para tokohnya harus berhadapan dengan masyarakat dan penguasa (yang didukung oleh ulama ortodoks). Sebab, penafsiran ulang adalah istilah yang tidak populer bagi mereka, khususnya karena dalam istilah itu terkandung makna perlawanan terhadap kemapanan. Tidak heran jika dalam banyak kasus, tokoh-tokoh Muslim liberal lebih sering menemui hambatan ketimbang sukses.
[8] Luthfi Assyaukanie , dalam makalah Wacana Islam Liberal Di Timur Tengah. Makalah ini disampaikan pada diskusi “Wacana Islam Liberal di Timur Tengah” di Teater Utan Kayu (TUK), Jakarta. Rabu, 21 Februari 2001.
[9] Liberal Islam: A Source Book. Oxford University Press, 1998. Selain buku Kurzman, buku yang juga secara spesifik berbicara tentang isu ini adalah Islamic Liberalism: A Critique of Development Ideologies (University of Chicago Press, 1988) karya Lionard Binder.