Surat
Cinta Kejora
“Neng, jendela ruang depan tadi sudah
ditutup belum?” ucap mas Mualif disela kegiatan kami merapikan rumah sore itu.
“Sepertinya belum, Mas. Biar saya
lihat dulu,” jawabku seraya beranjak menuju ruang depan.
Hujan makin deras rupanya. Tirai
ruang depan melambai-lambai dipermainkan kencangnya hembus bayu. Segera kututup
jendela ruang depan, lalu kutarik korden hingga menyelimutinya.
Saat ini adalah hari keduaku dan
suamiku menempati kediaman pemberian Abah Anwar. Jeda sepekan sejak akad nikah
terlantun oleh mas Mualif di masjid agung Yogyakarta, Abah Anwar mengundang
kami berkunjung ke ndalem beliau dan menghibahkan tanah beserta kediaman
dekat Alun-alun Kidul kepada kami. Sungguh hanya syukur yang dapat terhatur.
“Neng, barang-barang dalam kotak
putih ini mau sekalian ditaruh di almari kah?” mas Mualif menghampiriku sambil
membawa kotak putih dan menunjukkannya padaku.
“Apa isinya? Boleh mas tahu?”
lanjutnya lagi.
Aku mendekat. Kuambil kotak putih itu
dari tangan mas Mualif. Ah, bahkan aku telah lupa barang-barang apa yang
kusimpan disana. Perlahan kubuka tutup kotak putih itu. Semua berwarna merah,
benda-benda yang sengaja ingin kulupakan. Bahkan sejak impian dan harapan yang
terbangun bersama tersimpannya benda-benda berwarna merah itu harus purna.
Mas Mualif mengambil salah satu isi
kotak itu.
“Baju ini bagus, Neng. Cocok sekali
jika engkau memakainya,” ucap mas Mualif seketika.
Aku diam. Lama. Hening.
“Neng..,”
Ah, berat sekali menjawab sapa mas
Mualif. Bahkan kalimat untuk sekedar menyenangkan hatinya pun tak dapat
terucap.
***
Kejora. . ,
“Kapan-kapan kalau kita ketemu lagi,
jangan pakai busana warna merah ya, Dik. Mas kurang suka dengan warna itu,”
pintanya kala itu, setelah berbincang beberapa hal via seluler.
Ya, aku dijodohkan dengan seorang
putra kyai di salah satu wilayah Jawa Tengah. Tak ada keberatan sama sekali.
Selain atas rekomendasi Abah Anwar, alasan terkuat aku menerima adalah karena
aku yakin ia yang terbaik. Meski kuakui saat itu aku sedang dekat dengan salah
satu santri abah, Mas Mualif, bahkan banyak keserasian dalam berbagai hal,
namun aku tetap menerima perjodohan itu.
Pertemuan-pertemuan kami, ta’aruf
itu, diatur oleh abah. Segala persiapan pernikahan kami pun diatur oleh beliau.
Dan, setelah permintaannya itu, segala pernak-pernikku yang berwarna merah
kusimpan rapi dalam kotak putih. Tak pernah kubuka setelahnya.
Mas Aulia. Sosok yang jadi pilihan
abah itu adalah seorang yang begitu kuat baktinya pada orang tua, sabar,
santun. Ah, semua sifat itu tak cukup rasanya sekedar untuk menggambarkan
pribadinya. Mungkin itulah yang jadi alasan utama abah menjodohkanku dengannya,
mengingat sifat-sifatku berbanding terbalik dengannya. Aku yang penari, aku
yang cerpenis, aku yang organisatoris bahkan cenderung pemberontak, semua itu
ingin diubah abah menjadi aku yang kalem, aku yang duduk manis dan aku yang
penurut.
Sapaan jelang kuliah, lantun surat
ar-Rahman selepas subuh dan nada-nada sholawat di tiap eksekusi tugas kuliahku jadi
rutinitas wajib dari mas Aulia setiap hari. Tari, pentas, organisasi perlahan
kutinggalkan. Ah, seperti bukan aku saja kalau begini.
Pagi itu, tiga hari sebelum janji
suci terikat, tak ada sapa sama sekali, pun lantun surat ar-Rahman yang biasa
dilantunkan mas Aulia untuk temani subuhku pun tiada. Cemas. Tak biasa.
“Nduk, bisa ke rumah sekarang?
Penting sekali,” pesan dari abah Anwar masuk ke ponselku.
“’Afwan, ada apa njih,
Bah?” tanyaku heran. Tak biasanya abah memintaku datang mendadak begini.
Apalagi jarak ke ndalem abah hampir setengah hari perjalanan bis.
“Berangkat
sekarang juga ya, Nduk,” pesan abah lagi tanpa membalas tanyaku.
Bergegas aku
bersiap. Berangkat.
Jika ditanya,
bagaimana keadaanku saat ini? aku bingung. Jika ditanya, apa harapanku setelah
ini? aku bingung. Jika ditanya, akankah aku menikah? Aku bingung. Ya, dan
akhirnya aku memang harus mengakui bahwa aku telah menaruh harapan pada mas
Aulia. Dan saat ini, yang kutemui saat aku datang ke ndalem abah adalah
jasad mas Aulia yang telah terbalut rapi dengan kain kafan di ruang tengah,
tempat aku bertemu mas Aulia pertama kali. Air mata, sama sekali tak ada.
Sedih, kurasa aku lebih ke linglung sekarang. Tak ada keinginan apapun
lagi. Semua berubah gelap.
***
Mualif. . ,
“Salam...
Lif, Jadilah
imam untuk Kejora. Lanjutkan pernikahan yang telah disiapkan oleh abah. Maaf
sebelumnya, aku menyayanginya, tapi kurasa ia lebih baik jadi dirinya sendiri
di sisimu daripada menjadi orang lain bersamaku. Aku yakin, kau yang terbaik
untuk jadi imamnya.”
Aku melipat surat
dari Aulia yang diberikan abah padaku, selang sebulan setelah kepergiannya.
“Bagaimana, Lif?
bersediakah menunaikan amanat Aulia?” tanya abah seketika.
“Pekan depan di
masjid agung, Kejora telah bersedia, persiapkan dirimu,”
Ah, bahkan abah
Anwar telah mengerti jawaban yang begitu berat kuucapkan. Semua karena kondisi
Kejora yang sangat berbeda setelah Aulia tiada. Ia jadi begitu pendiam,
berbicara hanya seperlunya saja. Bahkan setelah wisudanya kemarin. Mata itu,
tak ada lagi binar bahagia disana, ceria lenyap, yang tersisa hanya sendu. Dan
aku, sungguh berharap ceria itu kembali padanya setelah kami menikah.
Harapanku,
mungkin belum sepenuhnya terwujud. Tapi setidaknya, Kejora tak lagi diam. Ia
benar-benar istri yang baik. Meski aku sangat mengerti, ia sama sekali masih
menyimpan kenangan tentang Aulia dengan begitu rapi, tapi tak masalah bagiku.
Melihat binar ceria yang sedikit demi sedikit terpancar kembali dari matanya
itu, cukuplah bagiku.
***
“Maaf mas,
waktu-waktu ini ternyata belum mampu menghapus semua kenang yang masih terasa
nyata dalam benak. Sungguh maaf. Saya belum bisa menjadi istri yang baik untuk
mas,” ucapku perlahan.
Mas Mualif
tersenyum.
“Tak apa, Neng.
Semua perlu proses. Kau bisa lihat pelangi itu,” ujarnya sambil mengarahkan
telunjuknya pada bukit di balik jendela ruang depan yang tirainya kembali
tersibak. Ia menuntunku menuju beranda. Senja temaram. Hujan hampir reda.
“Senja tak selalu
dikunjungi oleh hujan. Hujan pun tak ingin sering bertandang menjumpai senja.
Kadang hujan yang merasa sepi kala senja tak kunjung hadir tuk sekedar bersapa,
padahal ia hampir purna. Kadang pula senja merasa demikian. Pelangi tak
terwujud seketika. Ia terlukis dari hujan dan senja, kala semburat mentari
masih punya jeda menuju peraduannya, kala rinai mendekati sirna. Begitupun
engkau dan kenanganmu. Saat kenangan usang ikhlas beranjak dari hatimu untuk
sekedar membiarkan kenangan baru menggantikannya, mengisi ruang tempatnya
bertahta selama ini, tentu kau akan menemukan lukis pelangi itu dalam hatimu.
Lukis yang begitu indah, hingga nanti kau akan memberi izin baginya untuk
menempati salah satu bilik hatimu,” jelas mas Mualif panjang lebar.
Lantun surat ar-Rahman
sayup terdengar olehku.
“...Fabiayyi
aalaa’i Robbikumaa tukadzdzibaan?...”
Dan, senja kali
ini terlihat begitu indah. Sama seperti pertama kali aku dibuat kagum olehnya.
Cahaya Senja, Oktober 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar