Kamis, 07 Maret 2013

Cerpen


Surat Cinta Kejora

“Neng, jendela ruang depan tadi sudah ditutup belum?” ucap mas Mualif disela kegiatan kami merapikan rumah sore itu.
“Sepertinya belum, Mas. Biar saya lihat dulu,” jawabku seraya beranjak menuju ruang depan.
Hujan makin deras rupanya. Tirai ruang depan melambai-lambai dipermainkan kencangnya hembus bayu. Segera kututup jendela ruang depan, lalu kutarik korden hingga menyelimutinya.
Saat ini adalah hari keduaku dan suamiku menempati kediaman pemberian Abah Anwar. Jeda sepekan sejak akad nikah terlantun oleh mas Mualif di masjid agung Yogyakarta, Abah Anwar mengundang kami berkunjung ke ndalem beliau dan menghibahkan tanah beserta kediaman dekat Alun-alun Kidul kepada kami. Sungguh hanya syukur yang dapat terhatur.
“Neng, barang-barang dalam kotak putih ini mau sekalian ditaruh di almari kah?” mas Mualif menghampiriku sambil membawa kotak putih dan menunjukkannya padaku.
“Apa isinya? Boleh mas tahu?” lanjutnya lagi.
Aku mendekat. Kuambil kotak putih itu dari tangan mas Mualif. Ah, bahkan aku telah lupa barang-barang apa yang kusimpan disana. Perlahan kubuka tutup kotak putih itu. Semua berwarna merah, benda-benda yang sengaja ingin kulupakan. Bahkan sejak impian dan harapan yang terbangun bersama tersimpannya benda-benda berwarna merah itu harus purna.
Mas Mualif mengambil salah satu isi kotak itu.
“Baju ini bagus, Neng. Cocok sekali jika engkau memakainya,” ucap mas Mualif seketika.
Aku diam. Lama. Hening.
“Neng..,”
Ah, berat sekali menjawab sapa mas Mualif. Bahkan kalimat untuk sekedar menyenangkan hatinya pun tak dapat terucap.
***
Kejora. . ,
“Kapan-kapan kalau kita ketemu lagi, jangan pakai busana warna merah ya, Dik. Mas kurang suka dengan warna itu,” pintanya kala itu, setelah berbincang beberapa hal via seluler.
Ya, aku dijodohkan dengan seorang putra kyai di salah satu wilayah Jawa Tengah. Tak ada keberatan sama sekali. Selain atas rekomendasi Abah Anwar, alasan terkuat aku menerima adalah karena aku yakin ia yang terbaik. Meski kuakui saat itu aku sedang dekat dengan salah satu santri abah, Mas Mualif, bahkan banyak keserasian dalam berbagai hal, namun aku tetap menerima perjodohan itu.
Pertemuan-pertemuan kami, ta’aruf itu, diatur oleh abah. Segala persiapan pernikahan kami pun diatur oleh beliau. Dan, setelah permintaannya itu, segala pernak-pernikku yang berwarna merah kusimpan rapi dalam kotak putih. Tak pernah kubuka setelahnya.
Mas Aulia. Sosok yang jadi pilihan abah itu adalah seorang yang begitu kuat baktinya pada orang tua, sabar, santun. Ah, semua sifat itu tak cukup rasanya sekedar untuk menggambarkan pribadinya. Mungkin itulah yang jadi alasan utama abah menjodohkanku dengannya, mengingat sifat-sifatku berbanding terbalik dengannya. Aku yang penari, aku yang cerpenis, aku yang organisatoris bahkan cenderung pemberontak, semua itu ingin diubah abah menjadi aku yang kalem, aku yang duduk manis dan aku yang penurut.
Sapaan jelang kuliah, lantun surat ar-Rahman selepas subuh dan nada-nada sholawat di tiap eksekusi tugas kuliahku jadi rutinitas wajib dari mas Aulia setiap hari. Tari, pentas, organisasi perlahan kutinggalkan. Ah, seperti bukan aku saja kalau begini.
Pagi itu, tiga hari sebelum janji suci terikat, tak ada sapa sama sekali, pun lantun surat ar-Rahman yang biasa dilantunkan mas Aulia untuk temani subuhku pun tiada. Cemas. Tak biasa.
Nduk, bisa ke rumah sekarang? Penting sekali,” pesan dari abah Anwar masuk ke ponselku.
“’Afwan, ada apa njih, Bah?” tanyaku heran. Tak biasanya abah memintaku datang mendadak begini. Apalagi jarak ke ndalem abah hampir setengah hari perjalanan bis.
“Berangkat sekarang juga ya, Nduk,” pesan abah lagi tanpa membalas tanyaku.
Bergegas aku bersiap. Berangkat.
Jika ditanya, bagaimana keadaanku saat ini? aku bingung. Jika ditanya, apa harapanku setelah ini? aku bingung. Jika ditanya, akankah aku menikah? Aku bingung. Ya, dan akhirnya aku memang harus mengakui bahwa aku telah menaruh harapan pada mas Aulia. Dan saat ini, yang kutemui saat aku datang ke ndalem abah adalah jasad mas Aulia yang telah terbalut rapi dengan kain kafan di ruang tengah, tempat aku bertemu mas Aulia pertama kali. Air mata, sama sekali tak ada. Sedih, kurasa aku lebih ke linglung sekarang. Tak ada keinginan apapun lagi. Semua berubah gelap.
***
Mualif. . ,
“Salam...
Lif, Jadilah imam untuk Kejora. Lanjutkan pernikahan yang telah disiapkan oleh abah. Maaf sebelumnya, aku menyayanginya, tapi kurasa ia lebih baik jadi dirinya sendiri di sisimu daripada menjadi orang lain bersamaku. Aku yakin, kau yang terbaik untuk jadi imamnya.”
Aku melipat surat dari Aulia yang diberikan abah padaku, selang sebulan setelah kepergiannya.
“Bagaimana, Lif? bersediakah menunaikan amanat Aulia?” tanya abah seketika.
“Pekan depan di masjid agung, Kejora telah bersedia, persiapkan dirimu,”
Ah, bahkan abah Anwar telah mengerti jawaban yang begitu berat kuucapkan. Semua karena kondisi Kejora yang sangat berbeda setelah Aulia tiada. Ia jadi begitu pendiam, berbicara hanya seperlunya saja. Bahkan setelah wisudanya kemarin. Mata itu, tak ada lagi binar bahagia disana, ceria lenyap, yang tersisa hanya sendu. Dan aku, sungguh berharap ceria itu kembali padanya setelah kami menikah.
Harapanku, mungkin belum sepenuhnya terwujud. Tapi setidaknya, Kejora tak lagi diam. Ia benar-benar istri yang baik. Meski aku sangat mengerti, ia sama sekali masih menyimpan kenangan tentang Aulia dengan begitu rapi, tapi tak masalah bagiku. Melihat binar ceria yang sedikit demi sedikit terpancar kembali dari matanya itu, cukuplah bagiku.
***
“Maaf mas, waktu-waktu ini ternyata belum mampu menghapus semua kenang yang masih terasa nyata dalam benak. Sungguh maaf. Saya belum bisa menjadi istri yang baik untuk mas,” ucapku perlahan.
Mas Mualif tersenyum.
“Tak apa, Neng. Semua perlu proses. Kau bisa lihat pelangi itu,” ujarnya sambil mengarahkan telunjuknya pada bukit di balik jendela ruang depan yang tirainya kembali tersibak. Ia menuntunku menuju beranda. Senja temaram. Hujan hampir reda.
“Senja tak selalu dikunjungi oleh hujan. Hujan pun tak ingin sering bertandang menjumpai senja. Kadang hujan yang merasa sepi kala senja tak kunjung hadir tuk sekedar bersapa, padahal ia hampir purna. Kadang pula senja merasa demikian. Pelangi tak terwujud seketika. Ia terlukis dari hujan dan senja, kala semburat mentari masih punya jeda menuju peraduannya, kala rinai mendekati sirna. Begitupun engkau dan kenanganmu. Saat kenangan usang ikhlas beranjak dari hatimu untuk sekedar membiarkan kenangan baru menggantikannya, mengisi ruang tempatnya bertahta selama ini, tentu kau akan menemukan lukis pelangi itu dalam hatimu. Lukis yang begitu indah, hingga nanti kau akan memberi izin baginya untuk menempati salah satu bilik hatimu,” jelas mas Mualif panjang lebar.
Lantun surat ar-Rahman sayup terdengar olehku.
...Fabiayyi aalaa’i Robbikumaa tukadzdzibaan?...”
Dan, senja kali ini terlihat begitu indah. Sama seperti pertama kali aku dibuat kagum olehnya.

Cahaya Senja, Oktober 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar