Senin, 20 Juni 2011

Cerpen


KAU SELALU DI HATI, KAU TAKKAN TERGANTI

Waktu terasa semakin berlalu, tinggalkan cerita tentang kita.
Akan tiada lagi kini tawamu tuk hapuskan semua sedih di hati.
Ada cerita tentang aku dan dia, saat kita bersama saat kita tertawa.
Ada cerita tentang masa yang indah, saat kita bersama saat dulu kala
………………………………………………………………………..”

Sayup-sayup kudengar alunan lagu dari ruang tengah asrama tempatku tinggal. Lagu itu. Ya, lagu itu kembali menguatkan ingatan tentang kenangan yang takkan pernah terlupa. Kenangan tentang aku dan dia. Kenangan tentang kebersamaan yang begitu erat terjalin, hingga saat itu tiba. Saat yang memisahkan kebersamaan itu hingga waktu yang –entah kapan- akan mengumpulkan kami kembali. Mungkin esok, lusa, minggu depan, bulan depan, tahun depan, entahlah aku tak tahu. Namun keyakinan itu tertanam kuat di hati.
Kian terdengar lagu itu, kian terpatri ingatan tentangmu. Bagai potongan puzzle yang datang berkelompok, berbaris, antri menuju tempatnya masing-masing, kemudian tersusunlah potongan-potongan itu menampilkan gambaran yang indah, sempurna. Mengingatmu, seakan tak terbendung rinduku jika tak sua denganmu…
*********
Suatu siang di awal Agustus, kulangkahkan kaki dari calon kamar tempatku beristirahat, di lantai 1 gedung Madinah Islamic Centre Jawa Tengah, menuju kantor registrasi di gedung Makkah yang bersela satu gedung dengan Madinah, setelah sebelumnya kurapikan barang-barang bawaanku disana. Hidup baru di tempat perantauan baru. Melewati gedung Madinatul Ujjaj, aku berpapasan dengan tiga orang calon mahasiswa baru lainnya. Kami saling bertegur sapa dan berkenalan. Satu yang begitu berkesan,
“Namanya siapa mbak?” tanyaku pada seorang di antara mereka.
“Eka”, jawabnya singkat.
“Mbak sendiri?”tambah yang lain padaku.
“Eky,” ujarku. Agak geli juga sebenarnya mendengar nama yang kusebutkan sendiri setelah nama teman baruku itu disebut. Seperti anak kembar terpisah yang kemudian dipertemukan kembali. Kaget. Tertawa. Ya, akhirnya ia tertawa. Tapi bukan, lebih tepatnya tersenyum. Senyum pertama yang kulihat darinya di pertemuan perdana.
“Semoga berkah pertemuan ini Ya Rabb,”lirihku.
“Mbak, kami mau ke kamar dulu. Mbak ikut atau hendak kemana dulu?”Tanya yang lain lagi.
“Oh, monggo duluan saja. Saya mau ke gedung Makkah dulu. Tadi pas photo saya kurang. Baru cetak lagi. Saya mau mengumpulkannya dulu.”jelasku.
“Ya udah, kami duluan mbak,”kata mereka serentak.
“Mari”

Ketiga teman baruku sedang merapikan barang-barang bawaannya saat aku kembali ke kamar. Dan bukan hanya mereka, penghuni lain yang baru datang pun sedang melakukan hal yang tak jauh beda. Layaknya seseorang yang baru bertemu, kami berjabat tangan, saling menyebut nama, berkenalan. Alhamdulillah, syukurku padaMu Ya Rabb, makin bertambah saudaraku di perantauan.
Kian hari, persahabatan kian erat terjalin, rasa persaudaraan kian kentara, kami makin dekat. Alif dan Fitri, yang satu alumni, sejak awal selalu menunjukkan keceriaannya, mereka pembuat ramai suasana, tak ada mereka sepi rasanya. Tak jauh beda dengan mereka ada Lili dan Rayya, suasana kamar berubah ceria dengan kehadiran mereka. Selain itu, ada Ihda dengan kesederhanaannya, Rini dengan sifat keibuannya, Yasmin dengan ketenangannya, dan Nay sang ustadzah. Seorang yang begitu menarik, ia tidur berseberangan ranjang denganku. Eka. Ya, Eka. Ia tetap dengan kesahajaannya. Meski kesan pertama yang kudapat dari perkenalan dengannya ia seorang pendiam, namun ternyata aku salah. Ia begitu perhatian pada sesama. Semangatnya begitu kuat tertanam di jiwanya. Semua terlihat dari kesehariannya bersama kami. Perhatiannya pada kami terasa bagai saudara sekandung. Sungguh pribadi yang mengagumkan, bisakah aku menjadi sepertinya?
Tak terasa dua pekan berlalu. Hari ini pengumuman pembagian asrama sekaligus pemberangkatan ke asrama yang akan menjadi tempat tinggal kami selama masa kuliah. Islamic Centre jadi kenangan tersendiri di benak kami.
*********
Suatu pagi di asrama. Suasana masih sepi. Sesuai dengan kondisi perkuliahan yang belum dimulai. Kuambil handphone. Ada pesan masuk rupanya. Kulihat waktunya, sudah berlalu satu jam. Kubuka pesan itu.
Met milad ya sahabatku. Barokallahu fii ‘umrik. Kebaikannya tambah, yang jelek diilangin J
Eka. Darimana dia tahu tanggal ulang tahunku? Padahal belum genap sebulan kami kenal. Kubalas pesan itu.
Amien Ya Mujib adDa’awaat. Syukron katsir ya Teh… J”. Terkirim.
Saat yang sama, ia turun dari kamarnya di lantai dua asrama kami dan seketika masuk ke kamarku yang tepat berada di bawah kamarnya.
“Mbak Ky, met ultah ya. Kapan mau ajak aku keluar nih?”ucapnya setelah duduk di hadapanku. Tetap dengan senyumnya.
“Wah, kapan ya. Maunya kapan?”jawabku.
“Eh, eh, aku cuma bercanda kok mbak,” sahutnya kemudian. Kembali diiringi senyumnya.
Ya, itulah Eka. Teh Eka, begitu kami biasa menyapanya, selalu penuh dengan kejutan. Kejutan yang khusus diperuntukkan untuk kebahagiaan orang lain. Ia tak pernah menganggap kepentingannya lebih penting melebihi teman-temannya. Ramah, sopan, periang. Hm, rasanya sangat kurang lengkap sifat-sifat itu untuk menggambarkannya. Sulit mengungkapkan beribu kebaikan yang dengan ikhlas ia berikan pada kami. Ia begitu mengenal kami, bahkan kurasa melebihi aku mengenal diriku sendiri. Ia begitu mengerti karakter dan sifat kami. Ia begitu memahami kami. Ia hafal tanggal ulang tahun kami tanpa harus diingatkan oleh orang lain. Ia begitu memperhatikan kami. Ia selalu jadi orang pertama yang mengucapkan ucapan “selamat ulang tahun” di tiap hari ulang tahun kami, teman-teman satu angkatannya. Bahkan ia merelakan menjadi yang terakhir memejamkan mata di waktu istirahat malam, hanya untuk menanti detik pergantian waktu menuju hari berikutnya bila keesokan harinya salah seorang dari kami berulang tahun. Hanya untuk itu. Sulit terpikirkan, bagaimana Ia melakukannya.
Kehadirannya selalu penuh suka dan canda. Cerita-ceritanya meramaikan suasana. Periangnya luluhkan hati yang duka. Ia tak pernah suka temui kesedihan. Tatkala ia jumpai ada hati yang sedang bersedih, ia pasti langsung menghampiri dan menyapanya. Menanyakan kabarnya. Memintanya bercerita tentang segala hal yang mengundang kesedihan menyelimuti hatinya. Menawarkan segenggam keceriaan tuk menyibak selimut kesedihan itu. Membagi sejumput kebahagiaan tuk damaikan hati yang mulai tersenyum berkat cahayanya. Kemudian ia pun dapat tenang melanjutkan aktivitasnya.
Matematika, salah satu mata kuliah favoritnya. Bagai bersua dengan mata air di tengah gurun pasir nan tandus, mata kuliah itu seakan menyatu dengannya, menjadi kehidupannya. Suka sekali ia menyelesaikan berpuluh-puluh soal yang diberikan dosen sebagai tugas akhir. Bahkan ia takkan berhenti mengutak atik sebuah soal yang bisa dibilang termasuk kategori sulit dan rumit, hingga ia temukan jawaban yang diharapkan. Masya Allah, benar-benar bersemangat baja. Semakin kagum saja aku dibuatnya.
Semangat menimba ilmu sangat tertanam di jiwanya, hingga sakit pun, ia tetap tak mau tinggalkan belajarnya. Memaksa untuk tetap mengikuti perkuliahan layaknya hari-hari biasa. Pernah suatu ketika ia begitu pucat, panas badannya tinggi sekali, diiringi batuk, yang ingin sekali melenyapkannya bagi siapapun yang mendengarnya, namun ia tetap bersiap-siap mengikuti kuliah, tak mengeluh sama sekali. Ya, ia memang tak pernah mengeluh. Hingga akhirnya setelah dibujuk dengan bermacam nasehat oleh orang-orang yang berbeda, ia menurut juga, tak jadi kuliah.
*********
Libur semester genap tiba. Kami mempersiapkan diri untuk mengikuti program yang telah disiapkan pada liburan ini. Belajar Bahasa Inggris ke Pare, Jawa Timur. Perjalanan panjang kami tempuh. Tiba disana…
“Subhanallah, Alhamdulillah. Akhirnya aku bisa menginjakkan kaki di tanah Jawa Timur” ucap Teh Eka spontan sesampainya di rumah tempat kami tinggal selama sebulan di Jawa Timur.
Semua menanggapi dengan senyum dan tawa. Semakin malam, cuaca makin dingin saja. Kukira keesokan paginya cuaca akan berubah, tapi aku salah. Pagi pertama disambut dengan dingin yang kian menusuk. Kuhampiri teman-teman yang antri di dekat kamar mandi.
“Masya Allah dingin sekali disini. Beda banget dengan Semarang,”ujarku membuka percakapan.
“Iya benar. Dingin banget,” timpal yang lain.
“Wah, mbak nanti harus maen ke rumahku. Disana lebih dingin lo dari ini. Ini mah belum terlalu dingin. Pokoknya mbak harus coba maen kesana nanti,” sahut Teh Eka mendekat. Ia memang tak terlihat kedinginan sama sekali.
“Apa? Lebih dingin? Ini aja udah dingin banget,” ucapku.
“Tapi boleh juga tuh nanti coba kesana. Sekalian maen ke Jawa Barat,”sambungku lagi.
“Nah gitu dong, nanti bisa sekalian wisata disana,”ujarnya lagi. Masih dengan senyumnya.
Tak terasa, pengalaman di Pare pun tinggal kenangan. Kembali ke Semarang, menjelang Idul Fitri, semua kembali bersiap, kali ini tujuan sama, mudik. Tepat seminggu sebelum perayaan Idul Fitri tiba, teh Eka berpamitan mudik lebih dahulu. Tak tahu kenapa hati ini seakan tak rela melepasnya. Sampai ia berucap pamit padaku, hati terasa tambah tak enak, rasa kehilangan kian menjadi. Hingga giliranku berpamitan dengannya walau sekedar melalui pesan singkat. Liburan kali ini, aku merasa ingin selalu mendengar kabarnya. Apalagi setelah mendapat kabar bahwa ia sakit di rumah.

Waktu kuliah kembali tiba, namun ia belum juga kembali. Berhari-hari tetap belum kembali. Ia sakit.
“Semangat sahabat, lekas sembuh ya. Kami rindu. Semua menantimu
Pesan terkirim. Ya, semua menunggumu Teh. Menunggu untuk kembali berkumpul bersamamu. Kami tiada lengkap tanpamu. Kami rindu. Rindu senyummu, candamu, ceriamu, ceritamu, semuanya. Kami benar-benar rindu. Lekas sembuh Teh, lekas ke Semarang lagi.
*********
Seperti hari-hari yang lalu, hari ini pun terasa biasa. Tak terbersit sesuatupun di benak kami. Hanya rasa khawatir setelah mendapat kabar tentangmu. Sakitmu parah. Kami hanya dapat melafadzkan doa untukmu. Namun keadaan berbalik, begitu cepat kabar tentangmu berubah. Di tengah berlangsungya mata kuliah, kami mendapat kabar yang memutuskan harapan kami seketika, harapan untuk berjumpa denganmu, harapan untuk kembali berkumpul denganmu, mendengar cerita-ceritamu. Kau telah tiada, meninggalkan kami. Tangis kami iringi kabar tentangmu. Kami yang tak pernah sempat menjadi orang pertama yang mengucap “selamat ulang tahun” untukmu. Kami yang tak pernah bertahan menyelesaikan soal-soal yang sulit hingga temukan jawabannya. Dan kini, kami rasa bukan seperti ini yang kau inginkan. Kami datang Teh. Namun harusnya bukan seperti ini keadaannya. Kami datang ke rumah teteh, merasakan dinginnya cuaca Jawa Barat seperti yang teteh ceritakan dan inginkan, namun tidak untuk mengantar menuju tempat peristirahatan terakhir teteh seperti saat ini. Rasanya tak ingin percaya hal ini. Tapi Allah begitu menyayangimu sahabat, Ia tak ingin menunda-nunda pertemuan denganmu, bahkan untuk sekedar berkumpul dengan kami. Kau benar-benar yang terbaik.
*********
Hari ini, empat puluh hari sudah kau tinggalkan kami. Air mata masih setia temani kami saat menatap potretmu. Kaupun masih terasa hadir di hari-hari kami. Kenangan-kenangan tentangmu tetap melekat erat di kalbu. Semangatmu tetap terkenang, berikan ingatan tuk selalu melangkah merajut asa dan cita-cita. Senyummu akan selalu temani hari-hari kami. Kau sahabat terbaik. Kata pepatah ‘patah tumbuh hilang berganti’, namun kau takkan pernah tergantikan. Selamat jalan sahabat, doa kami selalu bersamamu.

Teruntuk sahabat tercinta’Riska Sartika’
Engkau selalu ada di hati kami
Kemarin, saat ini, esok, nanti, selamanya.