KEJORA DI LANGIT TIMUR
Senja temaram, langit berpagut semburat kemerahan sang surya yang
menanti waktu menuju peraduannya. Kejora masih menatapku lekat di beranda
rumahnya senja ini. Gundah, kentara sekali tampak dari wajahnya. Bahkan, bila
aku mau lebih detail memperhatikan, tentu akan kutemui mata indahnya
berkaca-kaca.
Sesungguhnya aku hanyalah sebuah bintang tersesat yang dipersilakan
singgah di kediaman Kejora. Aku tidak mengenal Kejora sebelumnya, meski sering
mendengar namanya disebut dalam perbincangan warga langit yang tak sengaja ku
dengar. Namun, inilah aku, bintang yang tak pernah peduli hal demikian.
Jangankan Kejora, Rembulan dan Mentari pun aku tak acuh.
Kejora mulai berkisah tentang hidupnya, -meski hanya melalui sebuah
catatan usang yang sepertinya enggan ia buka kembali- setelah aku mendesaknya.
Memakan waktu cukup lama juga ternyata. Kali ini aku memang ingin menjadi warga
langit yang peduli, mengingat usiaku tak
lama lagi. Kupikir tak ada salahnya pula tahu sisi kehidupan orang lain. Toh,
aku tak berniat menyebarkannya dalam gosip entertainment murahan warga langit.
Satu kisah hidup yang tertuang dalam buku usangnya dan selalu
terngiang di benakku...
*****
7 Agustus 2009
Pagi ini surya pancarkan cahaya cerianya, serasi dengan hatiku. Hm,
akhirnya setelah melalui penantian panjang (sebulan sudah cukup lama kan?),
siang ini aku hijrah lagi ke gugusan langit timur. Wah, sudah terbayang di
benakku apa saja yang akan kulakukan disana. Tapi yang utama, aku harus punya
teman dahulu.
Baiklah, senyum semangat. Aku pasti bisa!!!
8 Agustus 2009
Perjalanan yang sungguh melelahkan, penat. Alhamdulillah, sampai
juga di gugusan langit timur. Tetap semangat...
10 Agustus 2009
Teman baruku bertambah lagi, kali ini semua warga asli langit
timur. Rembulan dan Mentari sungguh baik, mereka mengajariku banyak hal.
Bahasa, budaya dan adat warga langit timur. Sungguh beruntung berteman mereka.
Semoga selamanya.
3 September 2009
Adin Venus mulai mangkir. Tak dapat temani diskusi dan belajar
bersama. Tak tersisa waktu lagi, mungkinkah??
Kemana saja Adin? Lupakah pada adikmu? Terlalu banyak dan beratkah
amanah yang kau emban hingga semua waktumu habis tercurah tuk pekerjaanmu saja?
Entahlah, terserah Adin saja.
“Maaf, Kejora,” aku menyela tiba-tiba.
Kejora menoleh padaku.
“Siapa Adin Venus?” tanyaku.
Kejora tersenyum, jika harus kuakui senyumnya manis sekali.
“Adin adalah sebutan kakak di daerahku, gugusan langit
barat. Adin Venus pernah begitu dekat denganku. Ia begitu perhatiannya
padaku. Selalu temani belajarku meski tak nyata. Selalu beri motivasi agar aku
tak pernah menyerah. Beri suntikan semangat agar aku tak kenal lelah gapai asa
tuk bahagiakan orang tua. Adin adalah motivator kedua setelah orang
tuaku,” Kejora menghentikan ceritanya sejenak. Menarik nafas, menghembuskannya.
“Adin sangat dekat dengan keluargaku. Awalnya aku menganggap
Adin sebagai kakakku sendiri, hingga Adin menanyakan kesediaanku
untuk dinanti setelah sebelumnya menyatakan kesediaannya menanti hingga studiku
usai. Sekian lama, dengan berbagai pertimbangan, akhirnya kuputuskan untuk
penuhi permintaan Adin, tentu saja aku sadar akan konsekuensi yang akan
kujalani. Adin akan berada jauh di langit barat dan aku di langit timur.
Bagaimana aku tak sadar akan semua itu?” lanjutnya kemudian.
“Lalu bagaimana maksud dalam catatanmu ini?” tanyaku lagi seraya
mengangsurkan buku usang miliknya yang sedari tadi kupegang. Kutunjukkan bagian
yang kubaca tadi.
“Adin bekerja di salah satu instansi pemerintah yang mewajibkannya
berdedikasi penuh di bidang pendidikan. Ia seorang akademikus. Selain itu, ia
juga sibuk dalam salah satu LSM milik pemerintah langit barat yang membidangi
hal kemasyarakatan. Tak heran, Adin adalah sosok yang supel, ramah,
sosialis. Itu pula salah satu alasan aku siap dengan konsekuensi yang akan
kutanggung. Namun, ternyata hal itu pula yang membuat Adin semakin sibuk
dengan tugas-tugas baru yang diberikan padanya. Ia tak lagi ada temaniku
belajar. Tak lagi menanyakan perkembangan studiku. Pendek kata, aku merasa
terabaikan. Meski terkadang aku merasa salah juga karena aku terlalu cemburu
pada pekerjaannya.”
Aku hanya mengangguk-angguk mengerti.
13 Desember 2009
Hari ini hari pertama ujian akhir, semoga beroleh hasil mumtaz
nantinya.
Sekian lama tak bersapa, akhirnya sua lagi dengan Rembulan dan
Mentari. Dua sahabatku itu makin klop saja. Iri juga jadinya (padahal iri kan
nggak boleh).
Hm, ingat lagi sama Adin Venus. Sedang apa saat ini?
30 Desember 2009
Aku makin dekat dengan Mentari. Tapi tetap, tak mengalahkan
kedekatan Rembulan pada Mentari. Tidak enak juga bila akhirnya berembus kabar
miring. Aku paham akan keharusan kapasitas kedekatanku dengan Mentari. Jangan
khawatir Rembulan...
Adin benar-benar tak ada kabar, menghilang dari peredaran,
lenyap seketika. Apa maksudnya?
13 Maret 2010
Terkejut. Hanya kata itu yang dapat kuucap.
Setelah beberapa bulan ini dekat, Mentari menanyakan kesediaanku
untuk mendampingi langkahnya. Tak kunafikan bahwa ada simpati dalam kedekatan
dengan Mentari. Nyaman bersamanya. Namun, bagaimana Rembulan? Bagaimana pula
janjiku pada Adin?
Rembulan ternyata turut “memaksa”ku untuk penuhi permintaan
Mentari. Ia meyakinkanku bahwa ia hanya bersahabat dengan Mentari, tak lebih.
Ia yakinkanku bahwa keseriusan Mentari akan permintaannya tak berbilang rendah.
Dengan bimbang kuputuskan bila sampai pagi tadi Adin masih tetap menghilang,
aku akan bersama Mentari (egoiskah aku?). Dan akhirnya, ikrarku nyata. Aku akan
bersama Mentari.
Maafkan aku, Adin. Mungkin nanti Adin kan menyapaku dengan
panggilan “pengkhianat” dan semacamnya. Namun yang kupinta Adin memaafkanku.
18 Maret 2010
Adin menyapa lewat pesan singkat. Seperti biasa, menanyakan
kabarku. Rasa bersalah kian menghantuiku. Namun, yang tak pernah kusangka sama
sekali, ternyata aku salah jika menganggap Adin seperti yang terpikirkan selama
ini. Adin hanya menganggapku laik keluarga yang disayanginya. Jadi selama ini
ada apa? Permintaan itu hanya game ringan yang dapat dilontarkan sesuka
hatikah?
Lukaku semakin menganga, kecewaku menggunung. Tapi, satu yang dapat
kupetik. Aku tak lagi merasa bersalah karena ingkar janji pada Adin. Mungkin,
Mentari memang sosok yang tepat.
3 April 2010
Lagi-lagi vertigo menyerangku. Dua tahun ternyata bukan waktu yang
dapat membuat vertigo bosan menyertai langkahku. Ia malah semakin gencar saja
melancarkan serangannya di kepalaku. Kegiatan yang menyita waktu hingga tak
cukup rehat, banyak hal menyerbu minta penyelesaian hingga memeras otak, juga
lelah makin menambah intensitas kegarangan vertigo.
Mentari sungguh baik. Ia sungguh menyayangiku. Ia tak pernah
menggangguku di saat begini. Meski aku tahu ia sebenarnya sangat khawatir dan
selalu ingin tahu keadaanku. Namun ia tahu, aku tak dapat dibebani hal-hal
ruwet yang dapat membuatku semakin menderita. Semua hal pemberian Mentari
hingga perhatiannya makin membuat sayangku bertambah padanya. Terima kasih
Mentari, sedia temaniku.
15 Maret 2010
Tiada petir, tiada pula hujan turun. Namun aku kembali terkejut,
banjir melanda rasaku, hanyut. Ingin semua ini hanya dalam mimpi. Rabb,
yakinkan aku bahwa ini hanya mimpi. Tapi sepertinya pintaku hanya sekedar
pinta. Semua terasa makin nyata.
Mentari pamit hengkang dari hidupku, tanpa alasan jelas. Parahnya,
aku legowo menerima tanpa protes (meski hampa seketika). Harusnya aku
menanyakan alasannya, karena sakit yang kuderitakah? Salah apakah yang telah ku
perbuat padanya? Karmakah ini, setelah apa yang kulakukan pada Adin?
Seperti biasa, Rembulan jadi tempat bercurah setiap resahku.
Terlihat Rembulan sangat kecewa pada Mentari. Aku sungguh tak bermaksud
retakkan segala yang telah terbangun. Dengan sisa tegar yang kupunya,
kuyakinkan Rembulan bahwa aku biasa saja, aku kuat, kuat sekali.
Rupanya keyakinan yang kubangun atas diriku terbang sia-sia,
Rembulan sering temui aku dalam keadaanku yang menyedihkan, diam. Sesungguhnya
akupun tak tahu mengapa aku jadi demikian. Namun sejujurnya aku kehilangan,
benar-benar kehilangan, bahkan hatiku pun terasa lebih nyeri saat ini dibanding
saat menjalani kisah bersama Adin. Pasalnya, aku merasa telah temukan sandaran
terakhir, nyatanya salah juga. Aku sudah terlalu sayang pada Mentari. Trauma,
mungkin akan ada.
12 Oktober 2010
Masih dalam keadaan rapuh, terus mencoba lupakan, pasti bisa!!!
Rembulan pergi. Tak ada kabar. Benar-benar pergi dari langit timur.
Satu yang sangat kusayangkan, dia pergi membawa rasa bersalahnya padaku karena
menganggap semua yang terjadi berawal darinya. Rembulan, sungguh tak ada yang
menyalahkanmu, karena sejatinya kau memang tak bersalah. Aku akan baik-baik
saja. Kembalilah Rembulan...
30 September 2010
Aku pergi, menjauh dari hidup Mentari. Aku kembali ke langit barat.
Kisah dengannya kujadikan kenangan. Nyeri masih tersisa. Namun Mentari tetaplah
Mentari. Ia tak pernah benar-benar lenyap dari hatiku, meski aku sering
berbicara demikian. Aku tak pernah menyalahkan kepergiannya, karena tak ada hal
yang dapat dipersalahkan, Mentari sangat sayang padaku, kami tak pernah
berkonflik, mungkin itulah hal terbaik. Itu pula yang membuatku tak dapat
sedikitpun membencinya. Aku tak beroleh alasan untuk itu. Hanya kebaikan yang
selalu kuterima darinya.
Ucapnya yang selalu kuingat “Kejora, jangan tangisi pamitku padamu
karena sejatinya aku tak pantas kau tangisi. Engkau putri yang hebat, putri
yang kuat. Sungguh tak sepadan air matamu kau peruntukkan bagiku. Andai kita
berjodoh, kita pasti bertemu lagi”. Ya, semua ucapannya membuatku diam. Diam
disela tangis tertahanku, sembari mendengar isaknya pula. Diam disertai harapan
yang segera ingin kulenyapkan. Mengapa pula ia masih beriku harapan?
Hm, akhirnya aku dan Mentari akan hidup masing-masing. Berjalan
sesuai alur yang jadi skenario hidup masing-masing. Meraih asa masing-masing,
hingga kata sukses tergenggam. Mentari tetap jadi Mentari hatiku. Salah satu
motivator hidupku. Begitupun Rembulan, meski kepergiannya tak kuketahui hingga
kini, namun ia sahabat terbaik yang kupunya. Kenangan keduanya akan selalu
menemani langkahku.
Dan aku, mulai menata hidupku yang telah kacau, membenahi setiap
kesalahan yang kubuat, menghiasi setiap sudut hidupku dengan bunga kebaikan nan
indah dan harum. Aku ingin dikenang sebagai Kejora langit timur, meski tak
berasal dari sana. Kenangan langit timur adalah hal terindah. Semoga terliputi
keberkahan...
*****
Kututup catatan usang itu, kuletakkan di atas meja.
“Bagaimana keadaan Mentari saat ini?” aku kembali bertanya.
Kejora menggeleng sembari tersenyum.
“Aku tidak tahu bagaimana keadaannya, dimana tinggalnya, sedang apa
dirinya saat ini. Sudahlah, inilah hidupku kini.” Jawabnya.
Aku tak puas dengan hal itu.
“Masih ingatkah kau pada Mentari? apa yang kau lakukan setelah
kembali ke langit barat?” tanyaku. Kali ini aku memberondongnya.
“Mentari memang hengkang dari hidupku, lebih tepatnya aku yang sengaja
menjauh darinya sejak ia pamit. Aku tak pernah benar-benar bisa melupakannya.
Aku memulai hidupku di langit barat dengan mencoba mencurahkan segala yang
kurasa pada lembaran-lembaran kertas. Aku menyusun segala kenangan bersamanya menjadi
sebuah buku. Tiap kali menulis namanya, yang terbersit hanya saat pamitnya. Hal
itu adalah masa-masa terberat dalam hidupku. Dua tahun ternyata bukan waktu
yang lama untuk benar-benar membiasakan diri menjadi pribadi mandiri. Sosok
Mentari selalu hiasi hari. Tetapi aku harus jadi sosok putri yang kuat dan
tegar seperti harapannya. Hingga akhirnya, beginilah aku. Aku jadi diriku
sendiri dengan semangat yang kubangun dari kenangan bersama Mentari.”
“Tidak adakah keinginanmu untuk bertemu dengan Mentari?” tanyaku
lagi.
Kejora tertawa kecil.
“Andai aku tak selalu berusaha membunuh semua rasa dan asaku, tentu
aku takkan punya malu untuk sekedar berkunjung ke langit timur. Aku selalu
bersandar pada ucapnya yang tak pernah kulupa. “bila berjodoh pasti jumpa”. Jadi,
andaipun nanti aku akan bertemu dengan Mentari, aku ingin pertemuanku tidak
dilandasi kesengajaan keinginan untuk bertemu satu sama lain, tapi memang murni
kehendak Yang Kuasa,” tuturnya bijak. Matanya kembali berkaca-kaca.
Terharu. Memang tak sia-sia aku membujuk Kejora untuk berkisah
tentang hidupnya padaku. Setidaknya banyak hikmah yang dapat kujadikan
pembelajaran tuk menuntunku ke masa depan. Rasa sakitnya membawanya pada
ketegaran tak bertepi dan senyumnya tampakkan kesabaran jalani skenario Tuhan. Hal
itu pula yang membawanya menjadi “Kejora Langit Timur” dengan berbagai karya
kumpulan cerpen dan puisi seperti harapannya. Ya, Kejora menjadi seorang
penulis dan kritikus sastra.
Berbicara masa depan? Ah, sebentar lagi aku pun akan lebur bersama
mereka yang telah sampai waktunya. Namun, aku sungguh beruntung pernah tersesat
di kediaman Kejora. Meski saat ini Mentari disibukkan dengan perhatian penuhnya
pada warga langit dan Kejora makin mandiri dengan karyanya di sela-sela rutinitas
beredarnya, harapku pada Yang Kuasa, semoga harapan Kejora tak lagi sekedar
harapan belaka.
Cahaya Senja, Oktober 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar