Kamis, 07 Maret 2013

Cerpen


KEJORA DI LANGIT TIMUR
Senja temaram, langit berpagut semburat kemerahan sang surya yang menanti waktu menuju peraduannya. Kejora masih menatapku lekat di beranda rumahnya senja ini. Gundah, kentara sekali tampak dari wajahnya. Bahkan, bila aku mau lebih detail memperhatikan, tentu akan kutemui mata indahnya berkaca-kaca.
Sesungguhnya aku hanyalah sebuah bintang tersesat yang dipersilakan singgah di kediaman Kejora. Aku tidak mengenal Kejora sebelumnya, meski sering mendengar namanya disebut dalam perbincangan warga langit yang tak sengaja ku dengar. Namun, inilah aku, bintang yang tak pernah peduli hal demikian. Jangankan Kejora, Rembulan dan Mentari pun aku tak acuh.
Kejora mulai berkisah tentang hidupnya, -meski hanya melalui sebuah catatan usang yang sepertinya enggan ia buka kembali- setelah aku mendesaknya. Memakan waktu cukup lama juga ternyata. Kali ini aku memang ingin menjadi warga langit yang peduli, mengingat  usiaku tak lama lagi. Kupikir tak ada salahnya pula tahu sisi kehidupan orang lain. Toh, aku tak berniat menyebarkannya dalam gosip entertainment murahan warga langit.
Satu kisah hidup yang tertuang dalam buku usangnya dan selalu terngiang di benakku...
*****
7 Agustus 2009
Pagi ini surya pancarkan cahaya cerianya, serasi dengan hatiku. Hm, akhirnya setelah melalui penantian panjang (sebulan sudah cukup lama kan?), siang ini aku hijrah lagi ke gugusan langit timur. Wah, sudah terbayang di benakku apa saja yang akan kulakukan disana. Tapi yang utama, aku harus punya teman dahulu.
Baiklah, senyum semangat. Aku pasti bisa!!!
8 Agustus 2009
Perjalanan yang sungguh melelahkan, penat. Alhamdulillah, sampai juga di gugusan langit timur. Tetap semangat...
10 Agustus 2009
Teman baruku bertambah lagi, kali ini semua warga asli langit timur. Rembulan dan Mentari sungguh baik, mereka mengajariku banyak hal. Bahasa, budaya dan adat warga langit timur. Sungguh beruntung berteman mereka. Semoga selamanya.

3 September 2009
Adin Venus mulai mangkir. Tak dapat temani diskusi dan belajar bersama. Tak tersisa waktu lagi, mungkinkah??
Kemana saja Adin? Lupakah pada adikmu? Terlalu banyak dan beratkah amanah yang kau emban hingga semua waktumu habis tercurah tuk pekerjaanmu saja?
Entahlah, terserah Adin saja.

“Maaf, Kejora,” aku menyela tiba-tiba.
Kejora menoleh padaku.
“Siapa Adin Venus?” tanyaku.
Kejora tersenyum, jika harus kuakui senyumnya manis sekali.
Adin adalah sebutan kakak di daerahku, gugusan langit barat. Adin Venus pernah begitu dekat denganku. Ia begitu perhatiannya padaku. Selalu temani belajarku meski tak nyata. Selalu beri motivasi agar aku tak pernah menyerah. Beri suntikan semangat agar aku tak kenal lelah gapai asa tuk bahagiakan orang tua. Adin adalah motivator kedua setelah orang tuaku,” Kejora menghentikan ceritanya sejenak. Menarik nafas, menghembuskannya.
Adin sangat dekat dengan keluargaku. Awalnya aku menganggap Adin sebagai kakakku sendiri, hingga Adin menanyakan kesediaanku untuk dinanti setelah sebelumnya menyatakan kesediaannya menanti hingga studiku usai. Sekian lama, dengan berbagai pertimbangan, akhirnya kuputuskan untuk penuhi permintaan Adin, tentu saja aku sadar akan konsekuensi yang akan kujalani. Adin akan berada jauh di langit barat dan aku di langit timur. Bagaimana aku tak sadar akan semua itu?” lanjutnya kemudian.
“Lalu bagaimana maksud dalam catatanmu ini?” tanyaku lagi seraya mengangsurkan buku usang miliknya yang sedari tadi kupegang. Kutunjukkan bagian yang kubaca tadi.
Adin bekerja di salah satu instansi pemerintah yang mewajibkannya berdedikasi penuh di bidang pendidikan. Ia seorang akademikus. Selain itu, ia juga sibuk dalam salah satu LSM milik pemerintah langit barat yang membidangi hal kemasyarakatan. Tak heran, Adin adalah sosok yang supel, ramah, sosialis. Itu pula salah satu alasan aku siap dengan konsekuensi yang akan kutanggung. Namun, ternyata hal itu pula yang membuat Adin semakin sibuk dengan tugas-tugas baru yang diberikan padanya. Ia tak lagi ada temaniku belajar. Tak lagi menanyakan perkembangan studiku. Pendek kata, aku merasa terabaikan. Meski terkadang aku merasa salah juga karena aku terlalu cemburu pada pekerjaannya.”
Aku hanya mengangguk-angguk mengerti.

13 Desember 2009
Hari ini hari pertama ujian akhir, semoga beroleh hasil mumtaz nantinya.
Sekian lama tak bersapa, akhirnya sua lagi dengan Rembulan dan Mentari. Dua sahabatku itu makin klop saja. Iri juga jadinya (padahal iri kan nggak boleh).
Hm, ingat lagi sama Adin Venus. Sedang apa saat ini?

30 Desember 2009
Aku makin dekat dengan Mentari. Tapi tetap, tak mengalahkan kedekatan Rembulan pada Mentari. Tidak enak juga bila akhirnya berembus kabar miring. Aku paham akan keharusan kapasitas kedekatanku dengan Mentari. Jangan khawatir Rembulan...
            Adin benar-benar tak ada kabar, menghilang dari peredaran, lenyap seketika. Apa maksudnya?

13 Maret 2010
Terkejut. Hanya kata itu yang dapat kuucap.
Setelah beberapa bulan ini dekat, Mentari menanyakan kesediaanku untuk mendampingi langkahnya. Tak kunafikan bahwa ada simpati dalam kedekatan dengan Mentari. Nyaman bersamanya. Namun, bagaimana Rembulan? Bagaimana pula janjiku pada Adin?
Rembulan ternyata turut “memaksa”ku untuk penuhi permintaan Mentari. Ia meyakinkanku bahwa ia hanya bersahabat dengan Mentari, tak lebih. Ia yakinkanku bahwa keseriusan Mentari akan permintaannya tak berbilang rendah.
Dengan bimbang kuputuskan bila sampai pagi tadi Adin masih tetap menghilang, aku akan bersama Mentari (egoiskah aku?). Dan akhirnya, ikrarku nyata. Aku akan bersama Mentari.
Maafkan aku, Adin. Mungkin nanti Adin kan menyapaku dengan panggilan “pengkhianat” dan semacamnya. Namun yang kupinta Adin memaafkanku.

18 Maret 2010
Adin menyapa lewat pesan singkat. Seperti biasa, menanyakan kabarku. Rasa bersalah kian menghantuiku. Namun, yang tak pernah kusangka sama sekali, ternyata aku salah jika menganggap Adin seperti yang terpikirkan selama ini. Adin hanya menganggapku laik keluarga yang disayanginya. Jadi selama ini ada apa? Permintaan itu hanya game ringan yang dapat dilontarkan sesuka hatikah?
Lukaku semakin menganga, kecewaku menggunung. Tapi, satu yang dapat kupetik. Aku tak lagi merasa bersalah karena ingkar janji pada Adin. Mungkin, Mentari memang sosok yang tepat.

3 April 2010
Lagi-lagi vertigo menyerangku. Dua tahun ternyata bukan waktu yang dapat membuat vertigo bosan menyertai langkahku. Ia malah semakin gencar saja melancarkan serangannya di kepalaku. Kegiatan yang menyita waktu hingga tak cukup rehat, banyak hal menyerbu minta penyelesaian hingga memeras otak, juga lelah makin menambah intensitas kegarangan vertigo.
Mentari sungguh baik. Ia sungguh menyayangiku. Ia tak pernah menggangguku di saat begini. Meski aku tahu ia sebenarnya sangat khawatir dan selalu ingin tahu keadaanku. Namun ia tahu, aku tak dapat dibebani hal-hal ruwet yang dapat membuatku semakin menderita. Semua hal pemberian Mentari hingga perhatiannya makin membuat sayangku bertambah padanya. Terima kasih Mentari, sedia temaniku.

15 Maret 2010
Tiada petir, tiada pula hujan turun. Namun aku kembali terkejut, banjir melanda rasaku, hanyut. Ingin semua ini hanya dalam mimpi. Rabb, yakinkan aku bahwa ini hanya mimpi. Tapi sepertinya pintaku hanya sekedar pinta. Semua terasa makin nyata.
Mentari pamit hengkang dari hidupku, tanpa alasan jelas. Parahnya, aku legowo menerima tanpa protes (meski hampa seketika). Harusnya aku menanyakan alasannya, karena sakit yang kuderitakah? Salah apakah yang telah ku perbuat padanya? Karmakah ini, setelah apa yang kulakukan pada Adin?
Seperti biasa, Rembulan jadi tempat bercurah setiap resahku. Terlihat Rembulan sangat kecewa pada Mentari. Aku sungguh tak bermaksud retakkan segala yang telah terbangun. Dengan sisa tegar yang kupunya, kuyakinkan Rembulan bahwa aku biasa saja, aku kuat, kuat sekali.
Rupanya keyakinan yang kubangun atas diriku terbang sia-sia, Rembulan sering temui aku dalam keadaanku yang menyedihkan, diam. Sesungguhnya akupun tak tahu mengapa aku jadi demikian. Namun sejujurnya aku kehilangan, benar-benar kehilangan, bahkan hatiku pun terasa lebih nyeri saat ini dibanding saat menjalani kisah bersama Adin. Pasalnya, aku merasa telah temukan sandaran terakhir, nyatanya salah juga. Aku sudah terlalu sayang pada Mentari. Trauma, mungkin akan ada.

12 Oktober 2010
Masih dalam keadaan rapuh, terus mencoba lupakan, pasti bisa!!!
Rembulan pergi. Tak ada kabar. Benar-benar pergi dari langit timur. Satu yang sangat kusayangkan, dia pergi membawa rasa bersalahnya padaku karena menganggap semua yang terjadi berawal darinya. Rembulan, sungguh tak ada yang menyalahkanmu, karena sejatinya kau memang tak bersalah. Aku akan baik-baik saja. Kembalilah Rembulan...

30 September 2010
Aku pergi, menjauh dari hidup Mentari. Aku kembali ke langit barat. Kisah dengannya kujadikan kenangan. Nyeri masih tersisa. Namun Mentari tetaplah Mentari. Ia tak pernah benar-benar lenyap dari hatiku, meski aku sering berbicara demikian. Aku tak pernah menyalahkan kepergiannya, karena tak ada hal yang dapat dipersalahkan, Mentari sangat sayang padaku, kami tak pernah berkonflik, mungkin itulah hal terbaik. Itu pula yang membuatku tak dapat sedikitpun membencinya. Aku tak beroleh alasan untuk itu. Hanya kebaikan yang selalu kuterima darinya.
Ucapnya yang selalu kuingat “Kejora, jangan tangisi pamitku padamu karena sejatinya aku tak pantas kau tangisi. Engkau putri yang hebat, putri yang kuat. Sungguh tak sepadan air matamu kau peruntukkan bagiku. Andai kita berjodoh, kita pasti bertemu lagi”. Ya, semua ucapannya membuatku diam. Diam disela tangis tertahanku, sembari mendengar isaknya pula. Diam disertai harapan yang segera ingin kulenyapkan. Mengapa pula ia masih beriku harapan?
Hm, akhirnya aku dan Mentari akan hidup masing-masing. Berjalan sesuai alur yang jadi skenario hidup masing-masing. Meraih asa masing-masing, hingga kata sukses tergenggam. Mentari tetap jadi Mentari hatiku. Salah satu motivator hidupku. Begitupun Rembulan, meski kepergiannya tak kuketahui hingga kini, namun ia sahabat terbaik yang kupunya. Kenangan keduanya akan selalu menemani langkahku.
Dan aku, mulai menata hidupku yang telah kacau, membenahi setiap kesalahan yang kubuat, menghiasi setiap sudut hidupku dengan bunga kebaikan nan indah dan harum. Aku ingin dikenang sebagai Kejora langit timur, meski tak berasal dari sana. Kenangan langit timur adalah hal terindah. Semoga terliputi keberkahan...
*****
Kututup catatan usang itu, kuletakkan di atas meja.
“Bagaimana keadaan Mentari saat ini?” aku kembali bertanya.
Kejora menggeleng sembari tersenyum.
“Aku tidak tahu bagaimana keadaannya, dimana tinggalnya, sedang apa dirinya saat ini. Sudahlah, inilah hidupku kini.” Jawabnya.
Aku tak puas dengan hal itu.
“Masih ingatkah kau pada Mentari? apa yang kau lakukan setelah kembali ke langit barat?” tanyaku. Kali ini aku memberondongnya.
“Mentari memang hengkang dari hidupku, lebih tepatnya aku yang sengaja menjauh darinya sejak ia pamit. Aku tak pernah benar-benar bisa melupakannya. Aku memulai hidupku di langit barat dengan mencoba mencurahkan segala yang kurasa pada lembaran-lembaran kertas. Aku menyusun segala kenangan bersamanya menjadi sebuah buku. Tiap kali menulis namanya, yang terbersit hanya saat pamitnya. Hal itu adalah masa-masa terberat dalam hidupku. Dua tahun ternyata bukan waktu yang lama untuk benar-benar membiasakan diri menjadi pribadi mandiri. Sosok Mentari selalu hiasi hari. Tetapi aku harus jadi sosok putri yang kuat dan tegar seperti harapannya. Hingga akhirnya, beginilah aku. Aku jadi diriku sendiri dengan semangat yang kubangun dari kenangan bersama Mentari.”
“Tidak adakah keinginanmu untuk bertemu dengan Mentari?” tanyaku lagi.
Kejora tertawa kecil.
“Andai aku tak selalu berusaha membunuh semua rasa dan asaku, tentu aku takkan punya malu untuk sekedar berkunjung ke langit timur. Aku selalu bersandar pada ucapnya yang tak pernah kulupa. “bila berjodoh pasti jumpa”. Jadi, andaipun nanti aku akan bertemu dengan Mentari, aku ingin pertemuanku tidak dilandasi kesengajaan keinginan untuk bertemu satu sama lain, tapi memang murni kehendak Yang Kuasa,” tuturnya bijak. Matanya kembali berkaca-kaca.
Terharu. Memang tak sia-sia aku membujuk Kejora untuk berkisah tentang hidupnya padaku. Setidaknya banyak hikmah yang dapat kujadikan pembelajaran tuk menuntunku ke masa depan. Rasa sakitnya membawanya pada ketegaran tak bertepi dan senyumnya tampakkan kesabaran jalani skenario Tuhan. Hal itu pula yang membawanya menjadi “Kejora Langit Timur” dengan berbagai karya kumpulan cerpen dan puisi seperti harapannya. Ya, Kejora menjadi seorang penulis dan kritikus sastra.
Berbicara masa depan? Ah, sebentar lagi aku pun akan lebur bersama mereka yang telah sampai waktunya. Namun, aku sungguh beruntung pernah tersesat di kediaman Kejora. Meski saat ini Mentari disibukkan dengan perhatian penuhnya pada warga langit dan Kejora makin mandiri dengan karyanya di sela-sela rutinitas beredarnya, harapku pada Yang Kuasa, semoga harapan Kejora tak lagi sekedar harapan belaka.
Cahaya Senja, Oktober 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar