Sabtu, 12 November 2011

Kumpulan Makalah

Sistem penanggalan Pranoto Mongso
BAB I
PENDAHULUAN
Masyarakat yang tinggal di pulau Jawa, khususnya di Jawa Tengah dan Jawa Timur memiliki sistem penanggalan yang khas dalam penyusunan kalender. Sistem Penanggalan Jawa tersebut lebih lengkap dan komprehensif apabila dibandingkan dengan sistem penanggalan lainnya, lengkap dan komprehensifnya adalah suatu pembuktian bahwa ketelitian Jawa dalam mengamati kondisi dan pengaruh seluruh alam semesta terhadap planet bumi seisinya termasuk pengaruh kepada tatanan kehidupan manusia[1].
Kalender Jawa diperkirakan mulai dipakai sekitar tahun 78 Masehi, yang mendasarkan pada peredaran dua benda kosmik raksasa, yakni : bulan dan matahari. Jadi kalender Jawa disusun berdasarkan perpaduan antara peredaran bulan dan peredaran matahari. Rumusan tata penanggalan Jawa itu bermacam-macam, salah satunya yaitu Pranoto mongso yang digunakan sebagai pedoman penentuan musim, dan  biasanya digunakan oleh para nelayan dan petani pedesaan, yang didasarkan pada naluri saja, dari leluhur yang sebetulnya belum tentu dimengerti asal-usul dan bagaimana uraian satu-satu kejadian di dalam setahun. Walau begitu bagi para petani tetap dipakai dan sebagai patokan untuk mengolah pertanian.
Penanggalan seperti ini juga sebenarnya dikenal oleh suku-suku bangsa lainnya di Indonesia, seperti etnik Sunda dan etnik Bali (di Bali dikenal sebagai Kerta Masa). Beberapa tradisi Eropa mengenal pula penanggalan pertanian yang serupa, seperti misalnya pada etnik Jerman yang mengenal Bauernkalendar atau "penanggalan untuk petani".
Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai Pranoto mongso, simak pembahasan berikut ini.



BAB II
PEMBAHASAN
A.    SISTEM PENANGGALAN JAWA PRANOTOMONGSO
Pranoto Mongso artinya Aturan Musim. Pranoto Mongso adalah salah satu pengetahuan kuno yang didasarkan pada penanggalan Jawa. Pranoto Mongso membagi satu tahun menjadi 12 bagian sesuai musim, dan banyak digunakan terutama untuk pertanian. Tidaklah mengherankan jika sejak dulu kala Pulau Jawa merupakan pusat kehidupan di Kepulauan Nusantara. Dan penanggalan Pranotomongso ini didasarkan pada penanggalan Syamsiyah[2]. Dengan rumit dan detailnya perhitungan untuk pertanian ini, membuat pertanian di Pulau Jawa maju pesat karena dengan tepat menyesuaikan penanaman komoditas pertanian tertentu dengan menerapkan prinsip Pranoto Mongso ini. 
Pranoto Mongso semacam penanggalan yang dikaitkan dengan kegiatan usaha pertanian, khususnya untuk kepentingan bercocok tanam atau penangkapan ikan. Pranoto Mongso berbasis peredaran matahari dan siklusnya (setahun) berumur 365 hari (atau 366 hari) serta memuat berbagai aspek fenologi dan gejala alam lainnya yang dimanfaatkan sebagai pedoman dalam kegiatan usaha tani maupun persiapan diri menghadapi bencana (kekeringan, wabah penyakit, serangan pengganggu tanaman, atau banjir) yang mungkin timbul pada waktu-waktu tertentu.
Pranoto Mongso dalam versi pengetahuan yang dipegang petani atau nelayan diwariskan secara oral (dari mulut ke mulut). Selain itu, ia bersifat lokal dan temporal (dibatasi oleh tempat dan waktu) sehingga suatu perincian yang dibuat untuk suatu tempat tidak sepenuhnya berlaku untuk tempat lain. Petani, umpamanya, menggunakan pedoman pranoto mongso untuk menentukan awal masa tanam. Nelayan menggunakannya sebagai pedoman untuk melaut atau memprediksi jenis tangkapan[3].
Sedangkan Pranoto mongso dalam versi Kasunanan yang berlaku untuk wilayah di antara Gunung Merapi dan Gunung Lawu. Setahun menurut penanggalan ini dibagi menjadi empat musim (mangsa) utama, yaitu musim kemarau atau ketigå (88 hari), musim pancaroba menjelang hujan atau labuh (95 hari), musim hujan atau dalam bahasa Jawa disebut rendheng (95 hari) , dan pancaroba akhir musim hujan atau marèng (86 hari).
Musim dapat dikaitkan pula dengan perilaku hewan, perkembangan tumbuhan, situasi alam sekitar, dan dalam praktek amat berkaitan dengan kultur agraris. Berdasarkan ciri-ciri ini setahun juga dapat dibagi menjadi empat musim utama dan dua musim "kecil": terang ("langit cerah", 82 hari), semplah ("penderitaan", 99 hari) dengan mangsa kecil paceklik pada 23 hari pertama, udan ("musim hujan", 86 hari), dan pangarep-arep ("penuh harap", 98/99 hari) dengan mangsa kecil panèn pada 23 hari terakhir.
B.     SEJARAH PRANOTO MONGSO
Pranoto mongso diperkenalkan pada masa Sunan Pakubuwana VII (raja Surakarta) dan mulai dipakai sejak 22 Juni 1856, dimaksudkan sebagai pedoman bagi para petani pada masa itu[4].  Perlu disadari bahwa penanaman padi pada waktu itu hanya berlangsung sekali setahun, diikuti oleh palawija atau padi gogo. Selain itu, pranoto mongso pada masa itu dimaksudkan sebagai petunjuk bagi pihak-pihak terkait untuk mempersiapkan diri menghadapi bencana alam, mengingat teknologi prakiraan cuaca belum dikenal. Pranoto mongso dalam bentuk "kumpulan pengetahuan" lisan tersebut hingga kini masih diterapkan oleh sekelompok orang dan sedikit banyak merupakan pengamatan terhadap gejala-gejala alam.
Terdapat petunjuk bahwa masyarakat Jawa, khususnya yang bermukim di wilayah sekitar Gunung Merapi, Gunung Merbabu, sampai Gunung Lawu, telah mengenal prinsip-prinsip pranoto mongso jauh sebelum kedatangan pengaruh dari India. Prinsip-prinsip ini berbasis peredaran matahari di langit dan peredaran rasi bintang Waluku (Orion)[5]. Di wilayah ini, penduduknya menerapkan penanggalan berbasis peredaran matahari dan rasi bintang sebagai bagian dari keselarasan hidup mengikuti perubahan irama alam dalam setahun. Pengetahuan ini dapat diperkirakan telah diwariskan secara turun-temurun sejak periode Kerajaan Medang (Mataram Hindu) dari abad ke-9 sampai dengan periode Kesultanan Mataram di abad ke-17 sebagai panduan dalam bidang pertanian, ekonomi, administrasi, dan pertahanan (kemiliteran).
Perubahan teknologi yang diterapkan di Jawa semenjak 1970-an, berupa paket intensifikasi pertanian seperti penggunaan pupuk kimia, kultivar berumur genjah (dapat dipanen pada umur 120 hari atau kurang, sebelumnya memakan waktu hingga 180 hari), meluasnya jaringan irigasi melalui berbagai bendungan atau bendung, dan terutama berkembang pesatnya teknik prakiraan cuaca telah menyebabkan pranoto mongso (versi Kasunanan) kehilangan banyak relevansi[6]. Isu perubahan iklim global yang semakin menguat semenjak 1990-an juga membuat pranoto mongso harus ditinjau kembali karena dianggap "tidak lagi dapat dibaca"[7].
C.    UPAYA PENGGUNAAN KEMBALI
Karena pranoto mongso dianggap sudah "usang" namun tetap dianggap penting sebagai pedoman bagi petani/nelayan mengingat fungsinya sebagai penghubung petani/nelayan dengan lingkungan, upaya-upaya dilakukan untuk memodifikasi pranoto mongso dengan memanfaatkan informasi-informasi baru. Di bidang penangkapan ikan telah dilakukan upaya untuk menggunakan kalender semacam pranoto mongso sebagai pedoman bagi nelayan dalam melakukan penangkapan ikan[8]. Informasi ini berguna, misalnya, untuk menentukan kelaikan penangkapan serta musim-musim jenis tangkapan.
Di bidang pertanian tanaman pangan, telah dikembangkan Sekolah Lapang Iklim (SLI) untuk meningkatkan kemampuan petani dalam memahami berbagai aspek prakiraan cuaca dan hubungannya dengan usaha tani. Kegiatan SLI dimaksudkan untuk membuat petani mampu "menerjemahkan" informasi prakiraan cuaca yang sering kali sangat teknis, sekaligus membuat petani mampu mengadaptasikannya dengan kearifan lokal yang telah lama dimiliki.
Dalam kaitan dengan SLI, pranoto mongso menjadi rujukan untuk berbagai gejala alam yang diperkirakan muncul sebagai tanggapan atas kondisi cuaca/perubahan iklim. Pranoto mongso masih tetap dapat diandalkan dalam kaitan dengan pengamatan atas gejala alam. Kemampuan membaca gejala alam ini penting karena petani perlu beradaptasi apabila terjadi perubahan dengan mengubah pola tanam[9].
D.    PEMIKIRAN PENANGGALAN PRANOTOMONGSO
Kalender Pranotomongso dihitung berdasarkan perjalanan Matahari yang pada zaman dahulu digunakan oleh orang-orang di tanah Jawa sebagai patokan untuk mengetahui musim. Jumlah bulan pada kalender ini ada 12, yaitu :
1.        Mangsa kasa: “Sotyo murco saking embanan” (mutiara lepas dari pengikatnya)
22 juni - 1 agustus (41 hari), Ketiga – Terang.
Masa terang yg biasanya kering: sinar matahari 76%, kelembaban udara 60,1%, curah hujan 67.2 mm, suhu udara 27,4°C. Pada masa ini manusia merasa ada sesuatu yg hilang dalam alam, walau cuacanya sedang terang.
Para petani membakar batang padi yg masih tersisa di sawah, pada masa ini petani mulai menanam palawija, ubi dll, daun mulai rontok, belalang bertelur.
2.       Mangsa karo: “Bantolo Rengko” (tanah retak)
1 agustus - 24 agustus (23 hari), Ketiga – Paceklik.
Hawa menjadi panas: kondisi meteorologisnya sama dengan mangsa kasa, kecuali curah hujan menjadi 32.2 mm. Pada masa ini manusia mulai resah, karena suasana kering dan panas, bumi seperti merekah, memasuki alam paceklik.
Palawija mulai tumbuh, pohon randu dan mangga mulai bersemi. Sawah dan palawija harus berair dapat dari irigasi. Tanah banyak yg retak.
3.       Mangsa katelu: “Suto manut ing bopo” (anak menurut pada bapaknya)
25 agustus - 17 september (24 hari), Ketiga – Semplah.
Kondisi meteorologisnya sama dengan mangsa sebelumnya, hanya curah hujan naik lagi jadi 42.2 mm. Sumur-sumur mulai kering dan angin yg berdebu. Manusia cuma bisa pasrah. Tanah tidak dapat ditanami sebab panas dan tidak ada air. Saat mulai panen palawija, ubi dll.
4.       Mangsa kapat : “Waspo kumembeng jroning kalbu” (Air mata menggenang dalam kalbu/ mata air mulai menggenang)
18 september - 12 oktober (25 hari),  Labuh – Semplah.
Kemarau mulai berakhir, harapan mulai cerah: sinar matahari 72%, kelebaban udara 75,5%, curah hujan 83.3 mm, suhu udara 26,7°C. Disini manusia masih harus menunda kegembiraannya.
Petani mulai menggarap tanahnya untuk menanam padi gaga. Pohon kapuk sedang berbuah, burung pipit dan burung manyar membuat sarang.
5.       Mangsa kalima: “Pancuran emas sumawur ing jagad” (Pancuran emas menyirami dunia), Labuh – Semplah.
 23 oktober - 8 november (27 hari)
Kondisi meteorologisnya sama dengan diatas, hanya curah hujan naik menjadi 151.1 mm. Mangsa ini ditandai dengan hujan pertama. Suka cita manusia atas turunnya air hujan seperti pancuran mas yg membasahi bumi.
Petani mulai membetulkan sawah dan membuat pengairan dipinggir sawah, mulai menyebar padi gaga, pohon asam berdaun muda, ulat-ulat mulai keluar.
6.       Mangsa kanem : “Roso mulyo kasucian” (sedang banyak-banyaknya buah-buahan).
9 november - 21 desember (43 hari), Labuh – Udan.
Kondisi meteorologisnya sama dengan mangsa sebelumnya, hanya curah hujan meninggi jadi 402.2 mm. Alam menghijau, hati tenteram, tapi tidak menjadikan manusia serakah, justru menjadi penuh syukur.
Para petani mulai pekerjaannya di sawah, banyak buah-buahan, burung belibis mulai kelihatan di kolam. Musim orang membajak sawah.
Kemudian masuk kedalam mangsa rendheng, yg terdiri dari mangsa kapitu, kawolu, dan kasanga.

7.       Mangsa kapitu: “Wiso kenter ing maruto” ("Racun hanyut bersama angin" > banyak penyakit)
22 desember - 2 februari (43 hari), Rendheng – Udan.
Ketentraman manusia sejenak terganggu. Kondisi meteorologisnya: sinar matahari 67%, kelembaban udara 80%, curah hujan 501.4 mm dan suhu udara 26,2°C. Musim datangnya penyakit, alam ditandai dengan banjir. Alam yg terlihat kurang bersahabat sesungguhnya sedang menyimpan berkah panen yg demikian kaya. Kucing-kucing mulai kawin, itu adalah pratanda suka cita berada diambang mata.
Para petani mulai menanam padi. Sungai banjir, angin kencang.
8.       Mangsa kawolu : “Anjrah jroning kayun” ("Keluarnya isi hati" > musim kucing kawin)
3 Februari - 28 Februari (26 hari), Rendheng - Pangarep-arep.
Sesuatu sedang merebak dalam kehendak. Kondisi meteorologisnya sama dengan mangsa sebelumnya, kecuali curah hujan turun menjadi 371.8 mm. Meski mendung dan kilat, hujan menyapu segala kekeringan. Dalam 4 tahun sekali umurnya menjadi 27 hari.
Tanaman padi sudah menjadi tinggi, sebagian mulai berbuah, mulai banyak binatang uret.
9.       Mangsa kasanga : “Wedaring wono mulyo” ("Munculnya suara-suara mulia" > Beberapa hewan mulai bersuara untuk memikat lawan jenis)
1 maret - 25 maret (25 hari), Rendheng - Pangarep-arep.
Kondisi meteorologisnya sama dengan mangsa sebelumnya, hanya curah hujan menurun lagi jadi 252.5 mm.
Musim padi berbuah, musim kucing kawin, jangkrik dan tonggeret mulai keluar di atas pohon.
Alam memasuki mangsa terakhir dalam setahun, yaitu mangsa mareng, yg dibagi dalam mangsa kasapuluh, dhesta, dan saddha.
10.   Mangsa kasapuluh : “Gedong mineb jroning kalbu” ("Gedung terperangkap dalam kalbu" > Masanya banyak hewan bunting)
 26 maret - 18 april (24 hari), Marèng - Pangarep-arep.
Mangsa ini menyimpan antisipasi yg sedikit muram, karena akan menghadapi musim kemarau lagi, orang gampang lesu dan pusing-pusing. Kondisi meteorologisnya: sinar matahari 60%, kelembaban udara 74%, curah hujan 181.6 mm, suhu udara 27,8°C.
Padi mulai menguning, panen padi gaga, banyak binatang bunting, burung-burung membuat sarang.
11.   Mangsa dhesta : “Sotyo sinoro wedi” ("Intan yang bersinar mulia")
19 april - 11 mei (23 hari), Marèng – Panèn.
Hujan mulai habis. Kondisi meteorologisnya sama dengan diatas, kecuali curah hujan menjadi 129.1 mm.
Para petani mulai panen raya, burung sedang mengeram.
12.   Mangsa sadha : “Tirto sah saking sasono” ("Air meninggalkan rumahnya" > jarang berkeringat karena udara dingin dan kering)
12 mei - 21 juni (41 hari), Marèng – Terang.
Air lenyap dari tempatnya, kemarau mulai tiba. Kondisi meteorologisnya masih sama, hanya curah hujan naik lagi menjadi 149.2 mm.
Petani mulai menjemur padinya dan dimasukkan ke lumbung, disawah tinggal batang padi kering[10].
Pada mulanya, Pranotomongso hanya mempunyai 10 mongso. Sesudah mongso kesepuluh tanggal 18 April, orang menunggu saat dimulainya mongso yang pertama (kasa atau kartika) yakni tanggal 22 Juni. Masa menunggu itu cukup lama, sehingga akhirnya ditetapkan sebagai mongso yang kesebelas (destha atau padawana) dan mongso yang kedua belas (sadha atau asuji). Sehingga satu tahun menjadi genap 12 mongso. Hari pertama mongso kesatu dimulai pada 22 Juni[11].
Perhitungan Pranotomongso juga membawakan watak dan pengaruh. Maka kita akan menjelaskan tentang mongso tersebut. Mongso yang membawa watak bawaan atau pengaruh itu ada tiga, yaitu :
1. Kasa (kartika), watak (pengaruhnya) : dedaunan rontok, kayu-kayu patah di atas. Saat mulai menanam palawija, belalang bertelur. Bayi yang lahir dalam mongso Kasa ini berwatak belas kasihan.
2. Karo (poso), watak (pengaruhnya) : tanah retak, tanaman palawija harus dicarikan air, pohon randu dan mongso tumbuh daun-daunnya. Bayi yang lahir dalam mongso itu wataknya ceroboh, kotor.
3. Sodo (asuji), watak (pengaruhnya) : musim dingin, jarang orang berkeringat. Usai panen. Bayi yang lahir dalam masa itu wataknya cukupan[12].
Begitulah kurang lebih sketsa watak-watak mangsa. Pernyataan meteorologis yg dicantumkan kiranya memberi kita pengetahuan, bahwa watak mangsa itu berkaitan dengan kondisi empiris-meteorologis yg nyata. yang jika dikaitkan dengan kondisi saat ini, hal tersebut diatas tentunya harus dicocokkan secara ilmiah, kondisi alam, kemajuan teknologi, dan sebagainya.
E.     PERHITUNGAN PENANGGALAN PRANOTOMONGSO
Jumlah bulan dalam kalender ini sama dengan jumlah bulan pada kalender Masehi maupun Hijriah yaitu terdiri dari 12 bulan. Sedangkan cara membuat dan masuknya bulan pada kalender ini, cukup dengan mengikutkannya dengan kalender Masehi pada tanggal dan bulan yang sudah ditentukan.
TABEL PRANOTOMONGSO
NO.
MONGSO
UMUR
(hari)
PERMULAAN MONGSO
1.
Kaso (kartika)
41
22 Juni – 1 Agustus
2.
Karo (pusa)
23
2 Agustus - 24 Agustus
3.
Katelu (Manggasri)
24
25 Agustus - 17 September
4.
Kapat (sitra)
25
18 September - 12 Oktober
5.
Kalima (manggakala)
27
13 Oktober - 8 November
6.
Kanem (naya)
43
9 November - 21 Desember
7.
Kapitu (palguna)
43
22 Desember - 2 Februari
8.
Kawolu (wasika)
26/27
3 Februari - 28 Februari
9.
Kasongo (jita)
25
1 Maret - 25 Maret
10.
Kasepuluh (srawana)
24
26 Maret - 18 April
11.
Dastho (pradawana)
23
19 April - 11 Mei
12.
Sodo (asuji)
41
12 Mei - 21 Juni

Contoh :
Pebruari 2012 
Senin
Selasa
Rabu
Kamis
Jum’at
Sabtu
Ahad


1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29





Maret 2012
Senin
Selasa
Rabu
Kamis
Jum’at
Sabtu
Ahad



1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31


Keterangan :
·         3-29 Pebruari : mangsa kawolu (Rendheng - Pangarep-arep), Penampakannya/ibaratnya anjrah jroning kayun (merata dalam keinginan, musimnya kucing kawin). Tanaman padi sudah menjadi tinggi, sebagian mulai berbuah, uret mulai banyak.
·         1-25 Maret : mangsa kasanga (Rendheng - Pangarep-arep), Penampakannya/ibaratnya : wedaring wacara mulya ( binatang tanah dan pohon mulai bersuara). Padi mulai berkembang dan sebagian sudah berbuah, jangkrik mulai muncul, musim kucing kawin, tenggeret mulai bersuara.

F.     KOSMOGRAFI DAN KLIMATOLOGI PRANOTOMONGSO
Pranotomongso memiliki latar belakang kosmografi ("pengukuran posisi benda langit"), pengetahuan yang telah dikuasai oleh orang Austronesia sebagai pedoman untuk navigasi di laut serta berbagai kegiatan ritual kebudayaan. Karena peredaran matahari dalam setahun menyebabkan perubahan musim, pranoto mongso juga memiliki sejumlah ciri klimatologis.
Awal mangsa kasa (pertama) adalah 22 Juni, yaitu saat posisi matahari di langit berada pada Garis Balik Utara, sehingga bagi petani di wilayah di antara Merapi dan Lawu saat itu adalah saat bayangan terpanjang (empat pecak/kaki ke arah selatan). Pada saat yang sama, rasi bintang Waluku terbit pada waktu subuh (menjelang fajar). Dari sinilah keluar nama "waluku", karena kemunculan rasi Orion pada waktu subuh menjadi pertanda bagi petani untuk mengolah sawah/lahan menggunakan bajak (bahasa Jawa: waluku).
Panjang rentang waktu yang berbeda-beda di antara keempat mangsa pertama (dan empat mangsa terakhir, karena simetris) ditentukan dari perubahan panjang bayangan. Mangsa pertama berakhir di saat bayangan menjadi tiga pecak, dan mangsa karo (kedua) dimulai. Demikian selanjutnya, hingga mangsa keempat berakhir di saat bayangan tepat berada di kaki, di saat posisi matahari berada pada zenit untuk kawasan yang disebutkan sebelumnya (antara Merapi dan Lawu).
Pergerakan garis edar matahari ke selatan mengakibatkan pemanjangan bayangan ke utara dan mencapai maksimum sepanjang dua pecak di saat posisi matahari berada pada Garis Balik Selatan (21/22 Desember), dan menandai berakhirnya mangsa kanem (ke-6). Selanjutnya proses berulang secara simetris untuk mangsa ke-7 hingga ke-12. Sebuah jam matahari di Gresik yang dibuat pada tahun 1776 secara eksplisit menunjukkan hal ini. Mangsa ke-7 ditandai dengan terbenamnya rasi Waluku pada waktu subuh. Beberapa rasi bintang, bintang, atau galaksi yang dijadikan rujukan bagi pranotomongso adalah Waluku, Lumbung (Gubukpèncèng, Crux), Banyakangrem (Scorpius), Wuluh (Pleiades), Wulanjarngirim (alpha- dan beta-Centauri), serta Bimasakti.
Batas-batas eksak tanggal pada pranoto mongso versi Kasunanan merupakan modifikasi kecil terhadap pranata mangsa yang sudah dikenal sebelumnya yang didasarkan pada posisi benda-benda langit.
Secara klimatologi, pranata mangsa mengumpulkan informasi mengenai perubahan musim serta saat-saatnya yang berlaku untuk wilayah Nusantara yang dipengaruhi oleh angin muson, yang pada gilirannya juga dikendalikan arahnya oleh peredaran matahari. Awal musim penghujan dan kemarau serta berbagai pertanda fisiknya yang digambarkan pranata mangsa secara umum sejajar dengan hasil pengamatan klimatologi. Kelemahan pada pranata mangsa adalah bahwa ia tidak menggambarkan variasi yang mungkin muncul pada tahun-tahun tertentu (misalnya akibat munculnya gejala ENSO). Selain itu, terdapat sejumlah ketentuan pada pranoto mongso yang lebih banyak terkait dengan aspek horoskop, sehingga cenderung tidak logis[13]
KESIMPULAN
Setelah kita membahas panjang lebar tentang penanggalan Jawa Pranotomongso, maka dapat kita simpulkan bahwa penanggalan tersebut biasanya dikaitkan pada tanaman pertanian. Pernyataan meteorologis tentang pranotomongso, memberi kita pengetahuan bahwa watak mangsa itu berkaitan dengan kondisi empiris-meteorologis yg nyata yang tentu saja  jika dikaitkan dengan kondisi saat ini, hal tersebut harus dicocokkan secara ilmiah, kondisi alam, kemajuan teknologi, dan sebagainya.
Cara perhitungan penanggalan ini tidak terlalu sulit. Cukup mengikutkannya dengan kalender Masehi pada tanggal dan bulan yang sudah ditentukan. Di zaman sekarang, penanggalan Pranotomongso kurang begitu relevan jika dijadikan pedoman untuk beraktifitas, begitu juga untuk pertanian. Namun terlepas dari semua itu, adanya aturan sistematis tersebut menunjukkan kemajuan adat dan budaya serta kemampuan orang Jawa untuk menganalisa masalah global dan menafsirkannya dalam bentuk aturan baku.
PENUTUP
Demikianlah pembahasan tentang Sistem Penanggalan Pranotomongso pada makalah ini yang dapat saya susun yang tentu saja masih banyak kekurangan dan jauh dari sempurna, oleh sebab itu kritik dan saran dari pihak yang terkait dalam hal ini sangat kami nantikan untuk perbaikan selanjutnya. Saya ucapakan terima kasih kepada semua pihak yang membantu dalam penyusunan makalah ini, semoga bermanfaat bagi kita semua.  

DAFTAR PUSTAKA

·         Azhari, Susiknan, 2001, Ilmu Falak Teori dan Praktik, Yogyakarta: Lazuardi.
·         Azhari, Ahmad Ali, 2004, Hisab Awal Bulan, Kediri: Ar Rizqi “Pesantren Fathul Ulum”.
·         Khazin, Muhyiddin, 2005, Kamus Ilmu Falak, Yogyakarta: Buana Pustaka.
·         http://budayaindonesia.multiply.com/journal/item/148/pranoto_mongso
·         http://id.wikipedia.org/index.php/pembicaraan:pranata_mangsa&action=edit&redlink=1
·         http://primantoro.web.id/



[1] http://primantoro.web.id/
[2] Muhyiddin Khazin, Kamus Ilmu Falak, (Yogyakarta : Buana Pustaka, 2005), hal 65-66.
[3] M.Kusuma, Berlayar dengan Panduan Pranata Mangsa. Kompas Edisi 20-01-2009.
[4] Tanojo R. 1962. Primbon Djawa (Sabda Pandita Ratu), Surakarta : TB Pelajar, Hal. 36–45.
[5] http://id.wikipedia.org/index.php/pembicaraan:pranata_mangsa&action=1
[6] Pranata salah mangsa. Artikel pada blog Rawins. 14 Desember 2009
[7] Inggried Dwi Wedhaswary. Ketika "pranata mangsa" tak lagi bisa dibaca... Kompas edisi 10-11-2009.
[8] Hubungan pranata mangsa dengan musim penangkapan ikan. Artikel pada laman Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi DI Yogyakarta.
[9] http://id.wikipedia.org/index.php/pembicaraan:pranata_mangsa&action=1
[10] http://budayaindonesia.multiply.com/journal/item/148/pranoto_mongso
[11] Ahmad Ali Azhari, Hisab Awal Bulan, (Kediri : Ar Rizqi “Pesantren Fathul Ulum”, 2004), hal 8-9.
[12] Purwadi, Sejarah Sultan Agung, Harmoni antara Agama dengan Negara , (Yogyakarta : Media Abadi, 2004), hal 117. Dikutip dari Laporan Penelitian Individual “Fiqh Hisab Rukyah Kejawen” oleh Ahmad Izzuddin, M.Ag, hal 124.
[13] http://id.wikipedia.org/index.php/pembicaraan:pranata_mangsa&action=edit&redlink=1

Tidak ada komentar:

Posting Komentar