Sabtu, 12 November 2011

Ihwal Hukum Perdata

HUKUM WARIS

A.    Pendahuluan
Hukum kewarisan merupakan suatu ketentuan yang mengatur mengenai orang yang berhak menjadi ahli waris, orang yang tidak dapat menjadi ahli waris, besarnya bagian yang diterima tiap-tiap ahli waris dan cara pembagiannya. Diadakannya pengaturan tentang pemindahan harta peninggalan pewaris dimaksudkan untuk memberikan jaminan bahwa pemindahan kepemilikan tersebut dapat berjalan aman, tertib dan lancar. Aman berarti di kemudian hari tidak ada gangguan berupa gugatan atau sengketa misalnya menyangkut kepemilikan harta peninggalan, baik oleh ahli waris maupun pihak ketiga, benar-benar harta tersebut adalah miliknya pewaris atau tidak berada dalam sengketa mengenai kepemilikannya atau keperdataan lain. Sedangkan tertib dan lancar berarti pemindahan harta peninggalan tadi dilakukan menurut atau berdasarkan ketentuan hukum syara’ atau hukum Islam dalam waktu sesegera mungkin, dalam artian tidak ditunda-tunda sampai berlarut-larut untuk jangka waktu yang relatif terlalu lama atau sama sekali tidak pernah dilaksanakan pembagian harta peninggalan pewaris.
Dalam hukum Islam, hukum kewarisan menduduki tempat amat penting. Ayat Al-Qur’an mengatur hukum kewarisan dengan jelas dan terperinci. Hal ini dapat dimengerti sebab masalah kewarisan pasti dialami oleh setiap orang. Selain itu, hukum kewarisan langsung menyangkut harta benda yang apabila tidak diberikan ketentuan pasti, amat mudah menimbulkan sengketa di antara ahli waris.
B.     Pengertian Hukum Waris
Dalam KUH Perdata tidak ditemukan pengertian tentang hukum waris, tetapi hanya  ada beberapa konsepsi tentang pewarisan, orang yang berhak dan tidak berhak menerima warisan dan lain-lain. Hal tersebut dituangkan dalam pasal 830 KUH Perdata yang intinya menyebutkan bahwa Hukum Waris adalah hukm yang mengatur kedudukan hukum harta kekayaan seseorang setelah meninggal, terutama berpindahnya harta kekayaan itu kepada orang lain.
Dalam Kompilasi Hukum Islam yakni dalam Inpres No. 1 Tahun 1991 telah diatur dan disebutkan pengetian hukum waris pada pasal 171 huruf a Inpres No. 1 Tahun 1991 bahwa hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagian masing-masing.[1] Tujuan hukum waris Islam ini adalah mengatur cara-cara membagi harta peninggalan supaya dapat bermanfaat kepada ahli waris secara adil dan baik.[2]
Berdasar konteks hukum adat menurut Soepono, hukum waris adalah sekumpulan hukum yang mengatur proses pengoperan dari satu generasi ke generasi selanjutnya.
Unsur Pokok Hukum Waris
Beberapa unsur pokok yang melekat pada hukum waris yaitu:
1.      Kaidah hukum
Kaidah hukum dalam hukum waris meliputi; pertama, hukum tertulis yaitu kaidah hukum yang terdapat dalam perundang-undangan dan yurispridensi. Kedua, kaidah hukum tidak tertulis (hukum adat) yakni hukum waris yang hidup dan tumbuh dalam masyarakat adat.[3]
2.      Pemindahan harta kekayaan
Pemindahan harta kekayaan pewaris (natalenschap) adalah bahwa harta yang diperoleh pewaris selama hidupnya diserahkan kepada ahli waris yang berhak menerimanya.
3.      Ahli waris (erfenaam) dan Pewaris (erflater)
Ahli waris dalam hal ini adalah orang yang memiliki ikatan kekeluargaan dengan pewaris, baik yang timbul karena hubungan darah atau akibat perkawinan.[4]
4.      Bagian yang diterima ahli waris
Hal ini disesuaikan dengan hukum waris  yang digunakan. Berbeda dengan Hukum Perdata dan Hukum Islam, dalam hukum adat tidak ditetapkan besarnya prosentase harta warisan yang harus diterima akan tetapi penetapannya berdasar pada kegunaan harta tersebut bagi ahli waris.
5.      Hubungan ahli waris dengan pihak ketiga.
Hubungan yang dimaksud adalah hubungan hukum yang timbul antara pewaris dengan pihak ketiga pada saat pewaris masih hidup, misalnya tentang hutang piutang pewaris.
     Asas Hukum Waris
Dalam hukum waris berlaku suatu asas bahwa hanya hak-hak dan kewajiban-kewajiban dalam lapangan hukum kekayaan harta benda saja yang dapat diwariskan. Asas ini mengandung arti bahwa hanya hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang dapat dinilai dengan uang sajalah yang dapat diwariskan.
Selain itu juga berlaku asas bahwa apabila seseorang meninggal maka seketika itu juga segala hak dan kewajibannya beralih kepada ahli waris (dalam bahasa Perancis le mort saisit le vif). Menurut hukum adat, soal pewarisan dalam hukum adat tidak perlu mendesak dilaksanakan, dengan maksud bahwa kewarisan tidak serta merta dilakukan saat pewaris meninggal, tetapi secara positif kewarisan dapat dilaksanakan meskipun tidak ada yang meninggal dunia. Jadi dalam hukum adat pewarisan dapat dilakukan antara orang yang masih hidup.
C.    Pluralisme Hukum Waris di Indonesia
Dalam praktek terdapat tiga sistem hukum yang mengatur tentang Hukum Waris. Hal ini sesuai dengan penggolongan warga Negara Indonesia yang ditentukan oleh pasal 163 Indische Staats Regeling (I.S).[5] ketiga sistem hukum tersebut adalah:
1.    Hukum Waris Perdata Barat (BW)
Hukum waris BW diperuntukkan bagi keturunan Tionghoa dan Eropa dan juga bagi WNI asli yang menundukkan diri pada BW.[6] Dasar hukum kewarisan barat ini disebutkan terutama dalam pasal 528 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (BW) yang berbunyi:
“Atas suatu kebendaan, seseorang dapat mempunyai baik suatu kedudukan berkuasa, baik hak milik, baik hak waris, baik hak pakai, baik hak pengabdian tanah, bak hak gadai atau hipotek”
Sifat dari hukum waris BW secara umum meliputi sifat individual, bilateral dan perderajatan. Sifat individual adalah suatu asas dimana yang menjadi ahli waris adalah perorangan bukan kelompok ahli waris, suku dan keluarga.[7] Sifat bilateral artinya bahwa seseorang tidak hanya mewarisi dari bapak saja tetapi juga dari ibu, demikian pula dengan saudara lelaki, mewarisi dari saudara lelakinya maupun saudara perempuannya.[8] Sifat perderajatan artinya ahli waris yang derajatnya dekat dengan si pewaris menutup ahli waris yang lebih jauh derajatnya.[9]
2.    Hukum Waris Islam
Hukum Waris Islam berlaku bagi orang Indonesia (baik asli ataupun keturunan) yang beragama Islam berdasar S.1854 No.129 yang diundangkan di Belanda dengan S.1855 No.2 di Indonesia dengan S.1929 No.22 yang telah ditambah, diubah dan sebagainya terakhir dengan pasal 29 UUD 1945, jo Tap No.II/MPRS/1961 lampiran A No. 34 jo GBHN 1983 Tap No. II/MPR/1983 Bab IV.
Ketentuan Kewarisan selanjutnya tertuang dalam Buku II tentang Hukum Kewarisan Kompilasi Hukum Islam berdasar Inpres No. 1 Tahun 1991.
Secara umum sifat hukum waris Islam adalah system bilateral-patrilineal yaitu memposisikan pria pada proporsi lebih dari wanita. Ketentuan ini merupakan konsekuensi logis bahwa prialah yang memilki kewajiban untuk memberikan nafkah keluarga.
Asas hukum waris Islam disalurkan dari Al-Qur’an dan Sunnah antara lain:
a.       Ijbari, bahwa peralihan harta dari seseorang yang meninggal dunia kepada ahli warisnya berlangsung dengan sendirinya menurut ketetapan Allah swt, tanpa digantungkan kepada kehendak ahli waris.[10]
b.      Bilateral, bahwa seseorang menerima hak kewarisan dari kedua belah pihak, yaitu pihak kerabat laki-laki dan pihak kerabat perempuan.
c.       Individual, menyatakan bahwa harta warisan dapat dibagi-bagi pada masing-masing ahli waris untuk dimiliki secara perseorangan dengan ketentuan bagian yang telah ditetapkan.
d.      Keadilan Berimbang, bahwa harus senantiasa terdapat keseimbangan antara hak dan kewajiban, antara hak yang diperoleh seseorang dengan kewajiban yang harus ditunaikannya.
e.       Akibat Kematian, bahwa kewarisan ada jika ada orang yang meninggal dunia. Hal ini berarti bahwa harta seseorang tidak dapat beralih kepada orang lain selama orang yang mempunyai harta tersebut masih hidup.
3.    Hukum Waris Adat
Hukum waris Adat diperuntukkan bagi warga Negara Indonesia asli, yakni suku-suku bangsa yang hidup di wilayah Indonesia. Secara umum, sifat hokum waris adat terbagi menjadi tiga bagian yaitu patrilineal (menurut garis ayah), matrilineal (menurut garis ibu) dan bilateral (menurut garis ibu bapak)/ parental (pembagian harta warisan dengan bagian sama rata).
Selain melalui metode waris, penyelenggaraan hukum waris adat juga dilakukan melalui hibah dan wasiat. Hibah merupakan perbuatan hukum yang dimana seseorang tertentu memberikan suatu barang (kekayaan) kepada seorang tertentu menurut kaidah hukum yang berlaku. Perbuatan hibah yang dilakukan antara orang-orang yang mempunyai hubungan hak mewarisi bernilai sebagai tindakan pewarisan. Menurut Soepomo, hibah adalah suatu cara membagi harta pusaka di luar peraturan waris biasa, yaitu yang dilakukan pewaris semasa hidupnya kepada ahli waris yang mulai membentuk keluarga sendiri. Jadi, si pewaris belumlah meninggal.
Sedangkan wasiat adalah suatu pesan terakhir dari orang yang hendak meninggal kepada ahli warisnya tentang harta benda, harta asal, harta pencaharian bersama, semua hutang dan bagian serta kewajiban para ahli waris masing-masing. Hal ini dimaksudkan bahwa wasiat tersebut memiliki suatu peraturan yang mengikat di antara mereka.
           
Perbedaan Pokok antara Hukum Waris Adat, Hukum Waris Islam dan Hukum Waris Barat :
Hukum Waris Adat
Hukum Waris Islam
Hukum Waris Barat (BW)
Bagian seorang pria dan seorang wanita sama rata
Bagian seorang pria dua kali bagian seorang wanita
Bagian seorang pria dan seorang wanita sama
Seorang anak angkat mempunyai kedudukan yang sama dengan anak kandung dan di dalam hal warisan juga diberlakukan sama
Tidak dikenal pengangkatan anak dengan segala akibatnya itu
Seorang anak luar nikah yang diakui oleh bapak atau ibunya mempunyai hak waris tetapi berbeda dengan anak sah
Seorang janda bukan ahli waris, tetapi berhak sebagai istri untuk mendapat nafkah seumur hidup
Seorang janda harus diberi warisan harta peninggalan suaminya
Seorang janda harus diberi warisan harta peninggalan suaminya

D.    Sebab-sebab Mendapat Warisan
-          Hukum Waris BW
1.      Menurut Undang-undang
Dalam pasal 832 KUHPer ditentukan ahli waris yang berhak yaitu para keluarga sedarah, baik sah maupun luar kawin, dan suami istri yang hidup terlama. Penetapan ahli waris berdasar hal ini terbagi menjadi empat kelompok, yaitu:
a.       Ahli waris golongan pertama meliputi keluarga sedarah dalam garis lurus ke bawah si pewaris. Apabila pewaris meninggalkan seorang istri/suami, maka untuk penetapan warisnya suami dan istri disamakan dengan seorang anak. (pasal 1 dan 2 sub (a) BW).
b.      Ahli waris golongan kedua meliputi orang tua, saudara, dan keturunan dari saudara. Untuk menetapkan bagian warisan dari orang tua, maka warisan dibagi dua bagian yang sama menurut banyaknya orang, antara orang tua dan saudara laki-laki dan perempuan. Akan tetapi, bagian warisan orang tua tidak pernah kurang dari seperempat. (pasal 854-855 BW).
c.       Ahli waris golongan ketiga adalah kakek dan nenek serta leluhur dan selanjutnya.
d.      Ahli waris golongan keempat adalah keluarga selanjutnya yang menyamping. (pasal 861 ayat (2) BW). 
2.      Menurut Wasiat
Ahli waris menurut wasiat harus sudah ada saat pewaris meninggal dunia. Harus ada ini berarti tidak hanya sudah dilahirkan, tapi cukup apabila sudah ada dalam rahim ibu. Ketentuan ini tidak berlaku bagi mereka yang menerima hak untuk menikmati sesuatu dari lembaga-lembaga.
3.      Harta Peninggalan[11] Yang Tidak Terurus
Jika ada suatu warisan terbuka dan tidak ada seorangpun yang tampil sebagai ahli waris atau orang-orang yang menjadi ahli waris semuanya menolak warisan itu, maka harta peninggalan itu dianggap sebagai harta tak terurus. Bila hal tersebut terjadi, Balai Harta Peninggalan (Weeskamer) dengan tanpa perintah dari hakim, wajib mengurus warisan itu dengan ketentuan harus memberitahukan kepada kejaksaan negeri setempat saat pengambilan pengurusan. Sedangkan dalam hal penetapan suatu warisan dapat dianggap sebagai harta tak terurus atau tidak akan diputuskan oleh hakim atas permintaan orang-orang yang berkompeten atau atas tuntutan jaksa.
Adapun kewajiban weeskamer terhadap harta tak terurus antara lain adalah membuat catatan tentang keadaan harta peninggalan tersebut, melakukan penyegelan barang-barang atau membereskan warisan, menagih piutang-piutang dan membayar utang-utang si meninggal, memberikan pertanggungjawaban terhadap harta peninggalan, memanggil para ahli waris yang mungkin ada dengan panggilan-panggilan umum dan menghadap di depan hakim bilamana harta warisan yang diurus itu digugat.
Berdasar pasal 1130 terdapat ketetapan mengenai harta tak terurus, dalam hal ini juga berlaku pasal 1037, 1038 dan 1041 BW yaitu berkenaan tentang pembayaran utang-utang dari orang yang meninggalkan harta warisan, pemenuhan legaat-legaat dan pembayaran ongkos-ongkos penyegelan serta perincian barang-barang atau harta benda dan sebagainya.
-          Hukum Waris Islam
Menurut pasal 174 Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI), ahli waris dibedakan menjadi dua kelompok yaitu:
1.      Menurut hubungan darah, yaitu ahli waris yang timbul karena hubungan keluarga. Golongan ini terdiri dari dua golongan yakni:
a.       Golongan laki-laki; meliputi ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki, paman dan kakek.
b.      Golongan perempuan; meliputi ibu, anak perempuan, saudara perempuan, bibi dan nenek.
2.      Menurut hubungan perkawinan, yaitu ahli waris yang timbul karena adanya ikatan perkawinan antara pewaris dengan ahli waris.
Perincian seluruh ahli waris menurut pasal 174 KHI terdiri dari 21 orang ahli waris. Ahli waris laki-laki berjumlah 13 orang meliputi ayah, kakek dari garis ayah, anak laki-laki, cucu laki-laki garis laki-laki, saudara laki-laki sekandung, saudara laki-laki seayah, saudara laki-laki seibu, anak laki-laki saudara laki-laki sekandung, anak laki-laki saudara laki-laki seayah, paman (saudara laki-laki ayah sekandung), paman (saudara laki-laki ayah seayah), anak laki-laki paman sekandung, dan anak laki-laki paman seayah. Sedangkan ahli waris perempuan berjumlah 8 orang yaitu ibu, nenek dari garis ibu, nenek dari garis ayah, anak perempuan, cucu perempuan garis laki-laki, saudara perempuan sekandung, saudara perempuan seayah dan saudara perempuan seibu.
-          Hukum Waris Adat
Sesuai dengan pola pembagian harta warisan menurut hukum adat dimana harta warisan diberikan dari satu generasi ke generasi selanjutnya. Hal ini berarti ahli waris menurut hukum adat adalah mereka yang merupakan keturunan langsung dari pewaris. Dalam lingkungan kesatuan rumah tangga, yang menjadi ahli warisadalah anak-anak dari orang yang bersangkutan sesuai dengan sistem menarik garis keturunan. Dengan demikian pada dasarnya suami istri tidak mempunyai hak saling mewarisi.
1.      Ahli Waris Keluarga Sedarah
Keluarga sedarah yang dimaksud bukan hanya anak-anak dari pewaris tetapi juga orang tua dan saudara-saudara pewaris. Keluarga sedarah yang menjadi ahli waris dipengaruhi dari cara menarik garis keturunan dari si pewaris, yakni sistem parental, patrilineal dan matrilineal.
Sifat masyarakat parental adalah menarik garis keturunan melalui garis ibu dan garis ayah, misalnya pada masyarakat Jawa, Madura, Sumatera Timur, Riau, Aceh, Sumatera Selatan, Kalimantan, Sulawesi, Ternate dan Lommbok. System Kewarisan pada masyarakat ini adalah individual yang cirinya bahwa harta peninggalan dapat dibagi-bagikan pemiliknya di antara ahli waris. Pola pembagian harta warisan masyarakat parental sebagai berikut: pertama, jika salah satu meninggal, harta benda perkawinan dibagi dua, yaitu harta benda asal ditambah setengah harta benda perkawinan. Ahli warisnya adalah: (1) semua anak-anaknya (laki-laki atau perempuan) dengan bagian sama rata; (2) bila tidak mempunyai anak maka harta benda bersama jatuh pada yang masih hidup; (3) bila ada anak, maka harta asal jatuh pada famili tertua dari yang meninggal (orang tua); bila yang tertua tidak ada, harta asal jatuh pada ahli waris kedua dari kedua orang tua tersebut (saudara laki-laki). Kedua, jika keduanya meninggal tanpa anak, harta benda bersama jatuh pada family kedua belah pihak.
Sifat masyarakat patrilineal adalah masyarakat yang anggota-anggotanya menarik garis keturunan melalui garis keturunan ayah, misalanya pada masyarakat Batak, Ambon, Bali, Nias, Irian, Timor, Gayo dan Minahasa. Pola pembagian harta warisan masyarakat patrilineal adalah sebagai berikut: (1) yang berhak mewarisi hanyalah anak laki-laki; (2) kakek, jika tidak memiliki anak laki-laki; (3) saudara laki-laki, jika kakek tidak ada.
Sifat masyarakat matrilineal adalah masyarakat yang anggota-anggotanya menarik garis keturunan melalui garis ibu[12], misalnya Minagkabau. Perkawinan dalam masyarakat ini disebut Exoga Semendo, yang berarti perkawinan dimana laki-laki didatangkan atau dijemput oleh pihak wanita tapi laki-laki tersebut tidak masuk klan istrinya, melainkan tetap menjadi anggota klan ibunya. Pembagian harta warisan menurut masyarakat ini adalah: (1) anak dari ibu; (2) cucu dan seterusnya, jika anak meninggal dahulu; (3) ayah-ibu, jika anak ke bawah tidak ada; (4) saudara isteri beserta anak-anaknya, jika yang meninggal suami; (5) bila suami yang meninggal, dan tidak meninggalkan ahli waris di atas maka digantikan oleh nenek dari pewaris beserta anak cucunya.
2.      Ahli Waris bukan Keluarga Sedarah
Pada dasarnya, keluarga bukan sedarah bukanlah sebagai ahli waris, tetapi karena mereka juga sebagai anggota rumah tangga, maka merekapun ikut menikmati penghasilan yang ditinggalkan pewaris. Orang yang bukan keluarga sedarah tersebut meliputi anak tiri, anak angkat, janda dan duda.
Anak angkat yang menerima warisan berbeda dengan keturunan sedarah dari si pewaris. Bila kedudukannya benar-benar sama dengan anak kandung, maka dalam pewarisan mempunyai hak sama dengan anak kandung.
Anak tiri tidak berhak atas warisan bapak/ibu tirinya. Tetapi sebagai anggota rumah tangga, ia ikut menikmati penghasilan bapak/ibu tirinya yang diberikan kepada ibu kandungnya sebagai nafkah janda/duda.
Janda bukan merupakan keturunan seorang suami sehingga pada dasrnya janda bukanlah ahli waris dari suami. Tetapi karena sama-sama menikmati harta rumah tangga, maka seorang janda harus dijamin kelansungan hidupnya oleh harta rumah tangga selama ia masih membutuhkan. Jika seorang janda menikah lagi, maka ia dianggap sudah tidak membutuhkan sebab kehidupannya telah dijamin oleh suami baru.
Seorang duda pada dasarnya tidak begitu mudah terlantar hidupnya karena ditinggal oleh istrinya sebab ia masih dapat bekerja seperti biasa, sehingga tidak tergantung dari harta peninggalan istrinya. Hanya saja jika seorang duda benar-benar memerlukan nafkah dari harta peninggalan tersebut, misalnya karena fisik tidak kuat lagi untuk bekerja, maka ia dapat menuntut supaya disediakan bekal kelangsungan hidup dari harta peninggalan istri.
E.     Hal-hal yang menjadi Penghalang Warisan
-          Hukum Waris BW
Dalam hal hilangnya hak mewarisi tidak terdapat perbedaan antara ahli waris berdasar Undang-undang dan ahli waris menurut wasiat. Orang-orang yang tidak berhak mendapat warisan dari pewaris karena perbuatannya yang tidak patut (onvarding) adalah:
1.     Karena telah membunuh atau mencoba membunuh pewaris (pasal 838 ayat 1).
2.     Karena memfitnah atau telah mengajukan pengaduan terhadap pewaris melakukan kejahatan dengan ancaman hukuman di atas 5 tahun (pasal 838 ayat 2).
3.     Karena dengan kekerasan atau perbuatan tidak mencegah si pewaris untuk membuat atau mencabut surat wasiatnya (pasal 838 ayat 3).
4.     Karena telah menggelapkan, merusak atau memalsukan surat wasiat pewaris (pasal 838 ayat 4).
5.     Menolak untuk menjadi ahli waris (pasal 1057).
Selain itu terdapat orang-orang yang menurut Undang-undang berhubung dengan jabatannya atau pekerjaannya maupun hubungannya dengan yang meninggal tidak boleh menerima keuntungan dari surat wasiat yang dibuat oleh pewaris, mereka antara lain notaries yang membuat surat wasiat serta saksi-saksi yang menghadiri pembuatan testamen dan pendeta yang melayani atau perawat yang merawat pewaris selama sakitnya yang terakhir.
-          Hukum Waris Islam
Menurut Hukum Islam (syariat Islam) sebab-sebab seseorang tidak mewarisi antara lain terikat dalam perbudakan, melakukan pembunuhan terhadap pewaris atau keluarganya, berlainan agama, murtad dan keturunan tidak sah.
1.      Pembunuhan
Menurut ketentuan pasal 173 KHI menyatakan seorang terhalang menjadi ahli waris apabila dengan putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hokum yang tetap, dihukum karena dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat pada pewaris dan dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan terhadap pewaris melakukan kejahatan dengan ancaman hukuman di atas lima tahun penjara atau hukuman yang lebih berat.
2.      Berbeda Agama[13]
KHI tidak menegaskan secara eksplisit perbedaan agama antara ahli waris dan pewarisnya sebagai penghalang mewarisi. Untuk mengidentifikasi seorang ahli waris beragama Islam menurut pasal 172 adalah dari kartu identitas, pengakuan, amalan atau kesaksian. Sedangkan bagi seorang bayi atau belum dewasa dianggap beragama seperti ayahnya.
3.      Perbudakan[14]
Budak menjadi sebab penghalang mewarisi karena status dirinya yang dipandang tidak cakap melakukan perbuatan hukum. Dalam KHI tidak dibicarakan masalah perbudakan sebab perbudakan tidak dikenal dalam sistem hukum dan nilai-nilai hukum di Indonesia.






F.     Kesimpulan dan Penutup
Berdasar paparan yang telah dijelaskan, bahwa pluralisme Hukum Waris di Indonesia masih berlangsung, dimana Hukum waris BW diperuntukkan bagi keturunan Tionghoa dan Eropa dan juga bagi WNI asli yang menundukkan diri pada BW. Hukum Waris Islam berlaku bagi orang Indonesia (baik asli ataupun keturunan) yang beragama Islam. Sedangkan Hukum waris Adat diperuntukkan bagi warga Negara Indonesia asli, yakni suku-suku bangsa yang hidup di wilayah Indonesia.
Sebagaimana kata pepatah “tiada gading yang tak retak”, demikian pula dalam penyusunan makalah ini. Oleh sebab itu, penyusun sangat mengharap kritik dan saran guna perbaikan pembahasan menuju sempurna. Namun demikian, penyusun tetap berharap adanya makalah ini dapat membantu menambah pengetahuan kita dalam hukum waris khususnya.

Daftar Bacaan
*                  Abta, Asyhari. Hukum Islam di Indonesia, Kajian Ilmu Waris menurut Tradisi Pesantren dan Kompilasi Hukum Islam. 2003. Yogyakarta : Elhamra Press.
*                  Al-‘Utsaimin, Muhammad bin Shalih. Panduan Praktis Hukum Waris Menurut Al-Qur’an dan assunnah. 2008. Bogor: Pustaka Ibnu Katsir.
*                  Ash-Shobuni, Syaikh M. Ali. Hukum Waris. 1994. Solo: Pustaka Mantiq.
*                  Jad, Syaikh Ahmad. Fikih Sunnah Wanita. 2008. Jakarta : Pustaka Al-Kautsar.
*                  Lubis, Suharwadi K. Hukum Waris Islam. 2008. Jakarta: Sinar Grafika.
*                  Tutik, Titik Triwulan. Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional. 2008. Jakarta : Prenada Media Group.
*                  Tutik, Titik Triwulan. Pengantar Hukum Perdata di Indonesia. 2006. Jakarta:Prestasi Pustaka Publisher.
*                  Usman, Rachmadi. Hukum Kewarisan Islam dalam dimensi kompilasi hukum Islam . 2009. Bandung : Mandar  Maju.


[1] Pengertian hukum waris dalam Kompilasi Hukum Islam difokuskan pada ruang lingkup hukum kewarisan Islam, yakni hukum kewarisan yang berlaku bagi orang Islam saja.
[2] Hal ini dapat dilihat dari warisan yang tidak hanya diberikan kepada pihak suami atau istri saja, tetapi juga dari kedua belah pihak baik garis ke atas, garis ke bawah, atau garis ke samping. Sehingga hukum waris Islam bersifat bilateral individual.
[3] Sifat dari kaidah hukum ini adalah kepatuhan dan penghormatan dari sesuatu yang telah disepakati bersama,
[4] Khusus dalam hukum adat bahwa keturunan merupakan ahli waris yang terpenting, sebab pada dasarnya mereka adalah satu-satunya ahli waris. Keluarga tidak menjadi ahli waris jika pewaris mempunyai keturunan.
[5] Selengkapnya lihat Titik Triwulan Tutik, SH, MH. Pengantar Hukum Perdata di Indonesia. 2006. Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher. Hlm. 280-283.
[6] Disebutkan dalam buku II BW perihal warisan title 12 sampai dengan title 18.
[7] Hal ini dapat dilihat dalam pasal 852 jo. 852 huruf a KUH Perdata yang menentukan bahwa yang berhak menerima warisan adalah suami atau istri yang hidup terlama, anak beserta keturunannya.
[8] Asas ini disebutkan dalam pasal 850, 853 dan 856 yang mengatakan bahwa bila anak-anak dan keturunannya serta suami atau istri yang hidup terlama tidak ada lagi, maka harta peninggalan dari pewaris diwarisi oleh bapak dan ibu serta saudara baik laki-laki maupun perempuan.
[9] Hukum menjadi lepas ketika ada syarat yang tidak terpenuhi atau karena adanya penghalang. Lihat Syaikh Ahmad Jad. Fikih Sunnah Wanita. 2008. Jakarta : Pustaka Al-Kautsar. Hlm. 481.
[10] Hal ini dapat dilihat dari segi peralihan harta yang pasti terjadi setelah seseorang meninggal dunia, jumlah harta yang sudah ditentukan untuk masing-masing ahli waris dan ahli waris yang telah ditentukan.
[11] Dalam Kompilasi Hukum Islam disebutkan bahwa pengertian harta peninggalan adalah harta yang ditinggalkan pewaris, baik yang berupa harta benda yang miliknya maupun hak-haknya. Sedangkan harta warisan adalah harta peninggalan yang telah dikurangi atau dibersihkan dari pengeluaran untuk kepentingan pewaris, termasuk untuk menyelesaikan wasiat dan hutang-hutang pewaris. Selengkapnya pada  Rachmadi Usman. Hukum Kewarisan Islam dalam dimensi kompilasi hukum Islam . 2009. Bandung : Mandar  Maju. Hlm. 69-70.
[12] Hal ini berlaku pula bagi anak yang lahir di luar perkawinan. Bila anak tersebut yang meninggal dunia, harta peninggalannya juga diwariskan kepada ibunya dan keluarga ibunya. Selengkapnya lihat Titik Triwulan Tutik, SH,MH. Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional. 2008. Jakarta : Prenada Media Group. Hlm.309.
[13] Hukum kewarisan Islam Indonesia dalam perspektif  Kompilasi Hukum Islam mensyaratkan bahwa seorang pewaris harus beragama Islam pada saat meninggal dunia.
[14] Disebutkan bahwa seorang budak tidak dapat mewarisi tuannya. Namun menurut Ibnu Taimiyah masing-masing keduanya dapat saling mewarisi. Budak yang dimerdekakan dapat mewarisi tuan yang memerdekakannya bila tidak terdapat ahli waris. Selengkapnya lihat As-Salsabil fii Ma’rifah Ad-Dalil, catatan atas Zad Al-Mustanfi’, karya Syaikh Shalih bin Ibrahim, 2/639, Maktabah Jeddah, 1406 H. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar