Jumat, 11 November 2011

Review Sosiologi Hukum, Problematika Teori Sosial (Bab I, bag.2)

Masalah Tatanan Sosial (Social Order)

Tahap perbincangan masalah tatanan sosial dalam teori sosial klasik tercetus dari persaingan antara dua tradisi pemikiran. Kedua tradisi pemikiran tersebut adalah doktrin instrumentalisme atau kepentingan pribadi dan doktrin legitimasi atau konsensus.

Doktrin kepentingan pribadi adalah konsepsi dalam dasar-dasar tatanan sosial yang sering disamakan dengan utilitarianisme dan ekonomi politik klasik. Doktrin ini juga menjadi unsur penting dalam banyak tradisi intelektual lainnya. Doktrin kepentingan pribadi dicirikan oleh hubungannya dengan konsepsi tertentu ikatan sosial dan pandangan tentang bentuk kaidah-kaidah yang menentukan kehidupan sosial yang teratur. Doktrin ini berpendapat bahwa manusia diatur oleh kepentingan pribadi dan dituntun oleh pertimbangan cara yang paling efisien untuk mencapai tujuannya yang dipilih secara pribadi. Gagasan kepentingan pribadi dapat diperluas hingga mencakup perhatian altruistis bagi kesejahteraan manusia lain selama pilihan ini didasarkan pada kehendak bebas manusia itu sendiri, juga jika yang diinginkan adalah agar manusia lain mendapatkan apa yang mereka inginkan. Menurut teori kepentingan pribadi, tujuan masing-masing individu relatif tidak tergantung pada tujuan individu-individu lain. Kalaupun mungkin relatif dipengaruhi oleh tujuan-tujuan orang lain, tetapi tujuan-tujuan tersebut tetap dikatakan berbeda menurut maknanya. Teori ini menyatakan, faktor penentu langsung perilaku ada di dalam diri individu sendiri, bukan pada kelompok-kelompok yang diikutinya.

Terdapat dua alasan rasional mengenai hubungan umum antara gagasan-gagasan kepentingan pribadi dengan instrumentalisme, yakni:

a. Makin luas ruang lingkupnya, makin terperinci pula muatan kepentingan-kepentingan kolektif; dan makin besar otoritas untuk menentukan apa yang harus diperbuat individu, maka makin sedikit peranan yang tersisa bagi pertimbangan-pertimbangan efisiensi pribadi. Individu akan lebih mudah menata ulang tujuannya sendiri berdasarkan pengetahuan akan sarana-sarana yang dimilikinya daripada mempengaruhi tujuan-tujuan bersama milik kelompok.

b. Gagasan untuk memanipulasi alam, yang dicontohkan oleh instrumentalisme, juga menyatakan gagasan untuk memanipulasi manusia lain. Alam maupun manusia lain itu merupakan dunia eksternal yang berbeda dengan dunia individu.

Doktrin kepentingan pribadi memiliki implikasi tertentu tentang wujud sistem peraturan atau hukum. Seluruh implikasi ini menjurus pada pandangan instrumental terhadap peraturan. Individu menganggap peraturan instrumental sebagai satu faktor tambahan untuk dipertimbangkan dalam perhitungan efisiensinya. Artinya, individu akan menuruti peraturan instrumental hanya selama tujuan-tujuannya sendiri terlayani lebih baik dengan menuruti peraturan daripada melanggarnya. Akibatnya, sanksi menjadi bagian penting dalam peraturan. Ketakutan terhadap sanksi berfungsi untuk memasukkan kewajiban-kewajiban tatanan sosial ke penalaran individu terkait sarana terefektif untuk mencapai tujuan-tujuan pribadi.

Kelemahan-kelemahan doktrin kepentingan pribadi:

a. Kegagalannya dalam menjelaskan bagaimana perilaku manusia dapat memiliki cukup kesinambungan atas waktu dan kesamaan antar-individu untuk memungkinkan terwujudnya masyarakat yang teratur.

b. Memiliki implikasi-implikasi kontradiktif terhadap pandangan seseorang terkait kedudukan peraturan dalam masyarakat.

c. Konsepsi kehidupan sosial dalam wujud doktrin ini tidak memasukkan nilai-nilai solidaritas. Nilai-nilai ini menunjukkan manfaat yang dilekatkan pada penerapan, pranata, dan keberadaan kehidupan berkelompok itu sendiri tanpa mempedulikan penerapannya pada kehendak individu atau gabungan beberapa kehendak individu.

Teori legitimasi atau konsensus berawal dari masyarakat atau kelompok berikut nilai-nilai dan pemahaman yang dianut bersama. Cita-cita dan kepercayaan ini bisa bervariasi sesuai besarnya persesuaian di antara mereka, kadar relatif keabstrakan atau kekonkretannya, intensitas ketaatan terhadapnya, dan koherensinya. Meskipun bervariasi dari segi keluasan, kekonkretan, intensitas dan koherensinya, kehadiran orientasi-orientasi moral dan kognitif yang dianut bersama selalu memungkinkan terwujudnya kehidupan sosial yang teratur. Kepercayaan yang sama memungkinkan manusia saling memahami dan mengerti harapan mereka terhadap satu sama lain.

Menurut penganut doktrin legitimasi, peraturan menjadi perwujudan nilai-nilai bersama yang dianut kelompok. Peraturan melakukan tugas-tugas penunjang yang vital: memperjelas implikasi dan batasan tujuan-tujuan tersebut terhadap calon-calon pelanggar peraturan. Namun, semakin luas cakupan, kekonkretan, intensitas dan koherensi konsensus, peraturan menjadi semakin tidak diperlukan. Berdasar hal tersebut dapat diketahui bahwa penyebab utama hukum ditaati adalah karena anggota-anggota kelompok mempercayai nilai-nilai yang dinyatakan hukum dan mewujudkannya dalam perilaku. Ketaatan seseorang terhadap peraturan datang dari kesanggupan peraturan untuk menyatakan tujuan-tujuan bersama sehingga orang dapat berpartisipasi di dalamnya, bukan dari ancaman-ancaman kesalahan untuk menjamin tegaknya peraturan tersebut. Maka, fokus kepentingan bergeser dari sanksi ke standar perilaku yang ditentukan oleh peraturan.

Keberatan terhadap doktrin legitimasi dan konsepsi peraturannya sangat berlawanan dengan kritik yang dialamatkan pada teori instrumentalisme, sebab kedua pandangan mengenai masyarakat tersebut saling melengkapi. Keberatan tersebut sebagai berikut:

a. Kecenderungan inheren yang terlalu berlebihan sekaligus terlalu terbatas dalam memberikan penjelasan. Doktrin ini menerangkan kemungkinan keselarasan pandangan dan cita-cita, tetapi tidak menerangkan kemungkinan adanya konflik. Dalam kerangka berfikir seperti ini, konflik hanya menjadi tanda adanya suatu yang terabaikan. Konflik pasti mewakili kegagalan untuk mencapai kesepakatan yang menjadi landasan tatanan sosial, kegagalan akibat terbatasnya keluasan, kekonkretan, intensitas atau koherensi dalam nilai-nilai dan pemahaman yang dianut bersama oleh masyarakat.

b. Implikasi-implikasi terhadap pemahaman peraturan. Semakin ketat kesepakatan yang mengikat individu-individu bersama dan semakin besar kekuasaan kesepakatan itu dalam menentukan perilaku mereka, peran yang tersisa untuk peraturan semakin berkurang.

c. Doktrin ini dituduh sebagai bias yang tidak dapat dilenyapkan terhadap kolektivisme –sebuah bias yang dibangun dalam pandangan deskriptif teori itu sendiri. Dengan mengutamakan pemahaman relasi sosial daripada analisis perilaku individu dan pentingnya nilai-nilai kelompok yang dianut bersama melebihi segala-galanya, tampaknya teori tersebut mengurangi dasar-dasar untuk mempertimbangkan individu secara tersendiri dan menolak tuntutan individu untuk berdikari, demi mendukung tuntutan solidaritas kolektif.

Terkait dengan solusi atas masalah teori sosial ini, penulis mengajukan solusi yang sekiranya dapat menyatukan berbagai bentuk doktrin tersebut, solusi yang diajukan ini akan berakibat pada adanya pengakuan terhadap arti penting peraturan-peraturan instrumental, yaitu norma-norma yang meringkas pertimbangan efisiensi. Namun, pada saat yang sama, pandangan ini menegaskan adanya peraturan-peraturan yang artinya lebih dari sekedar instrumental sebab peraturan-peraturan itu dirasakan dan dipakai sebagai pengungkapan nilai-nilai kelompok. Solusi ini mengungkapkan kebutuhan masyarakat terhadap perangkat hukum atau peraturan yang eksplisit, dengan diperkuat adanya ancaman pemaksaan yang dapat menjamin keefektifannya ketika batasan-batasan keluasan nilai-nilai yang mendasari hukum atau intensitas ketaatan yang dituntut tujuan-tujuan hukum melebihi kemampuan hingga muncul perilaku menyimpang.

Dalam penerapannya, solusi ini belum dapat disebut sebagai solusi utama penyatuan doktrin. Hal ini disebabkan tidak adanya kesinambungan antara sarana dan tujuan masyarakat ketika diterapkan dalam corak masyarakat yang berbeda-beda. Kedua hal tersebut hanya dapat disatukan jika keduanya diterapkan pada situasi sosial apapun untuk membedakan dengan jelas aspek-aspek kehidupan. Namun dalam kenyataannya, apa yang menjadi sarana dalam suatu konteks, merupakan tujuan dalam konteks lain, begitupun sebaliknya. Beralih dari kondisi demikian, bukan berarti solusi yang ada lantas disingkirkan begitu saja oleh masyarakat. Justru mereka terus berusaha menemukan solusi-solusi yang dirasa dapat meredam persoalan yang ada, sebab kebutuhan mereka.

Masalah Kemodernan

Bagi semua teoritisi sosial klasik, upaya untuk menetapkan pandangan yang komprehensif tentang manusia dan masyarakat tidak dapat dipisahkan dari minat untuk memahami kondisi dan prospek-prospek zaman mereka. Hal ini yang kemudian mengantarkan mereka pada perbedaan cara pendekatan terhadap masyarakat, hingga sampai pada masalah perumusan konsepsi kemodernan. Hubungan antara ideologi dan aktualitas dalam kehidupan modern membutuhkan kejelian tersendiri. Sikap para teoritisi sosial klasik terhadap hubungan ini tercermin pada reaksi mereka terhadap garis pemikiran doktrin kontrak sosial.

Para penganut doktrin kontrak sosial memandang masyarakat sebagai perkumpulan individu dengan kepentingan-kepentingan yang saling bertentangan dan dapat dipersatukan oleh peraturan-peraturan yang diberlakukan secara koersif dan pertukaran ekonomi. Doktrin ini sangat mempengaruhi ideologi penguasa.melalui kacamata kelompok-kelompok masyarakat yang dominan dan pembicara intelektualnya, masyarakat modern memandang dirinya sebagai peradaban yang sangat individualistis, yang aturan dan kebebasannya dijamin oleh hukum. Peraturan-peraturan hukum memang tampak berperan, akan tetapi sangat kecil artinya dalam membina kehidupan sosial. Sehingga, masalah utama dalam kemodernan sebenarnya adalah hal metode dan tatanan sosial, yang perlu ada bagian yang dapat mengkombinasikan keduanya dalam membentuk masyarakat tersebut.

Watak Dasar Manusia dan Sejarah

Untuk menyelesaikan resolusi masalah metode, tatanan sosial dan kemodernan, akhirnya dibutuhkan sebuah pandangan mengenai watak dasar manusia. Pada dasarnya, teori sosial membentuk identitasnya sendiri dan menolak gagasan bahwa watak dasar manusia itu satu dan mengatasi sejarah. Permasalahan sebenarnya adalah bolehkah wawasan zaman kuno ditanggalkan dari angan-angan zaman kuno bahwa kemanusiaan tidak pernah berubah sepanjang sejarah. Yang wajib dilakukan adalah mengembangkan doktrin yang mengakui watak dasar manusia secara lebih serius, sambil menegaskan bahwa watak dasar manusia mengalami perubahan seiring dengan sejarah, dan bahwa watak dasar manusia tersebut ditemukan kembali dalam bentuk yang berbeda-beda oleh masing-masing bentuk kehidupan sosial.

Teori tentang watak dasar manusia tidak boleh langsung membatasi diri pada deskripsi. Gambaran umum tentang manusia yang mencirikan keadaannya di dunia menyiratkan manusia bisa menjadi apa dan seharusnya menjadi apa. Sebaliknya, pilihan di antara pandangan-pandangan yang mungkin tentang kemanusiaan cenderung terpengaruh perspektif moral dan politik yang tidak mungkin seluruhnya didukung oleh pandangan yang dipilih seseorang.

Berdasar hal tersebut, hal yang patut menjadi tugas bersama bahwa masalah-masalah teori sosial tidak dapat diselesaikan kecuali jika kebenaran-kebenaran dalam teori tersebut dipertemukan dengan kebenaran-kebenaran filsafat politik zaman kuno. Perkembangan pemikiran menghendaki agar kedua tradisi dipersatukan dalam bentuk pengetahuan yang lebih inklusif.

Hukum

a. Hukum terlibat dalam masalah metode.

Setelah paham Aristoteles ditolak dalam pemikiran politik, fenomena atau gejala sosial perlu dijelaskan dan digambarkan dalam istilah-istilah yang berbeda dengan istilah-istilah tradisional untuk tujuan dan manusia. Namun, pada saat yang sama, menjadi jelas bahwa kita memang mengandalkan peraturan-peraturan preskriptif. Peraturan-peraturan ini bukan sekedar fakta tanpa signifikansi moral bagi orang-orang yang membuat, menerapkan dan menaatinya, serta memberikan penghargaan atau kecaman dengan berpedoman pada peraturan-peraturan tersebut. Inti teori masyarakat adalah menerangkan hubungan antara hukum yang menerangkan dan hukum yang bersifat mengatur.

b. Kajian terhadap hukum berhubungan erat dengan masalah tatanan sosial.

c. Resolusi untuk masalah kemodernan mengharuskan kita menemukan hubungan antara ideologi dominan yang menempatkan hukum impersonal sebagai pusat masyarakat dan pengalaman keseharian tatkala hukum tersebut hanya berdiri di pinggiran kehidupan sosial.

2 komentar: